Dalam sistem hukum pidana modern, ada satu prinsip fundamental yang sering menjadi perisai bagi individu yang berhadapan dengan hukum: nemo tenetur se ipsum accusare. Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipaksa untuk memberikan kesaksian yang dapat merugikan dirinya sendiri. Dalam konteks yang lebih luas, ini adalah hak untuk tetap diam tanpa konsekuensi yang merugikan. Namun, prinsip ini bukan sekadar aturan hukum yang kaku—ia adalah benteng perlindungan terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan dan jaminan bahwa keadilan ditegakkan secara benar.
Hak untuk tidak memberikan kesaksian yang merugikan diri sendiri bukanlah konsep baru. Ia telah lama diakui dalam berbagai sistem hukum di dunia, baik dalam hukum pidana nasional maupun internasional. Di Indonesia, perlindungan terhadap hak ini tertuang dalam Pasal 66 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi: “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.”
Artinya, dalam proses hukum, seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana tidak memiliki kewajiban untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Beban pembuktian ada pada jaksa penuntut umum. Konsep ini juga selaras dengan prinsip presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah, yang memastikan bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya di pengadilan.
Di Amerika Serikat, prinsip ini lebih eksplisit melalui Amendemen Kelima Konstitusi AS, yang menyatakan bahwa seseorang tidak boleh “dipaksa dalam kasus pidana apa pun untuk menjadi saksi melawan dirinya sendiri.” Aturan ini sering menjadi alasan utama seseorang menolak menjawab pertanyaan saat diinterogasi atau di persidangan, dengan alasan yang sering kita dengar dalam film-film hukum: “I plead the Fifth.”
Jika ditelusuri lebih dalam, ada alasan mendasar mengapa hak untuk tetap diam ini begitu dijunjung tinggi. Salah satu yang paling utama adalah mencegah praktik pemaksaan pengakuan. Sejarah mencatat banyak kasus di mana tersangka dipaksa mengakui perbuatan yang bahkan tidak mereka lakukan hanya karena tekanan fisik maupun psikologis selama proses interogasi.
Seorang ahli hukum terkenal, John Henry Wigmore, pernah mengatakan:
“Hak untuk tidak menjadi saksi melawan diri sendiri adalah salah satu perlindungan terbesar terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh negara.”
Tanpa perlindungan ini, penyelidik atau aparat penegak hukum bisa saja menekan seseorang untuk berbicara di bawah intimidasi, yang tentu bertentangan dengan prinsip peradilan yang adil (fair trial).
Kasus-kasus salah tangkap di berbagai negara menjadi bukti bahwa pengakuan di bawah tekanan bisa berujung pada vonis yang tidak adil. Salah satu contoh terkenal adalah kasus Central Park Five di Amerika Serikat, di mana lima remaja kulit hitam dan Latin dipaksa mengakui pemerkosaan yang tidak mereka lakukan. Mereka akhirnya dinyatakan bersalah hanya berdasarkan pengakuan yang mereka buat setelah interogasi panjang dan penuh tekanan. Butuh lebih dari satu dekade sebelum akhirnya mereka dibebaskan setelah bukti DNA menunjukkan bahwa pelaku sebenarnya adalah orang lain.
Di Indonesia, kita juga mengenal kasus Salah Tangkap Sengkon dan Karta di era 1970-an. Keduanya dipaksa mengaku melakukan pembunuhan setelah interogasi yang tidak manusiawi. Bertahun-tahun mereka menjalani hukuman, hingga akhirnya kebenaran terungkap dan mereka dinyatakan tidak bersalah. Kasus seperti ini menjadi pelajaran penting tentang betapa berbahayanya pemaksaan pengakuan dalam sistem peradilan pidana.
Dalam praktiknya, hak untuk tidak memberikan kesaksian yang merugikan diri sendiri dapat digunakan dalam berbagai tahap proses hukum, mulai dari penyelidikan, pemeriksaan di pengadilan, hingga tahap kasasi. Seorang tersangka atau terdakwa berhak untuk menolak menjawab pertanyaan yang dapat membuatnya terjerat lebih dalam.
Namun, ada dinamika menarik ketika prinsip ini diterapkan. Di satu sisi, tersangka memiliki hak untuk diam. Tapi di sisi lain, jaksa penuntut umum tetap harus mencari bukti yang cukup untuk meyakinkan hakim. Hal ini sering kali menjadi tantangan tersendiri dalam membuktikan suatu tindak pidana, terutama dalam kasus di mana hanya ada sedikit saksi atau alat bukti yang mengarah langsung kepada terdakwa.
Selain itu, dalam beberapa kasus, penggunaan hak untuk tetap diam bisa dianggap sebagai indikasi bahwa seseorang memiliki sesuatu yang disembunyikan. Hal ini sering menjadi perdebatan dalam persidangan. Namun, dalam sistem hukum yang adil, seseorang tidak bisa dianggap bersalah hanya karena ia menolak memberikan kesaksian yang merugikan dirinya sendiri.
Meski prinsip nemo tenetur se ipsum accusare adalah perlindungan fundamental bagi tersangka dan terdakwa, bukan berarti prinsip ini tanpa kritik. Salah satu tantangan terbesar adalah ketika prinsip ini digunakan oleh mereka yang sebenarnya bersalah untuk menghindari pertanggungjawaban hukum.
Dalam kasus korupsi, misalnya, banyak tersangka yang menggunakan hak untuk diam sebagai strategi untuk menghindari jeratan hukum. Mereka menolak memberikan keterangan, sehingga memperlambat penyidikan dan menyulitkan aparat penegak hukum dalam mengungkap jaringan kejahatan yang lebih luas.
Hal inilah yang membuat beberapa pihak mengusulkan adanya batasan dalam penerapan hak ini. Di beberapa negara, seperti Prancis dan Jerman, meskipun seseorang memiliki hak untuk diam, mereka tetap diwajibkan memberikan informasi faktual yang tidak secara langsung mengarah pada kesalahannya. Ini adalah kompromi antara perlindungan hak individu dan kepentingan penegakan hukum.
Hak untuk tidak memberikan kesaksian yang merugikan diri sendiri adalah prinsip esensial dalam sistem hukum yang adil. Ia melindungi individu dari penyalahgunaan kekuasaan, memastikan bahwa pengakuan yang diperoleh dalam proses hukum benar-benar sah, dan mencegah kesalahan penegakan hukum.
Namun, di sisi lain, prinsip ini juga bisa menjadi tantangan bagi penegakan keadilan, terutama ketika digunakan sebagai tameng bagi pelaku kejahatan yang sebenarnya bersalah. Oleh karena itu, keseimbangan antara perlindungan hak asasi dan kepentingan publik dalam memperoleh keadilan harus selalu dijaga.
Pada akhirnya, prinsip nemo tenetur se ipsum accusare bukan hanya tentang hak untuk diam, tetapi juga tentang memastikan bahwa keadilan ditegakkan tanpa mengorbankan kebebasan individu. Seperti yang pernah dikatakan oleh hakim terkenal Benjamin Cardozo: “Hak untuk tetap diam adalah hak yang melindungi kebebasan, tetapi juga menguji kebijaksanaan kita dalam menegakkan keadilan.”
Sebuah prinsip hukum bukan hanya tentang aturan di atas kertas, tetapi juga bagaimana ia diterapkan dalam kehidupan nyata. Dan dalam konteks hukum pidana, hak untuk tidak memberikan kesaksian yang merugikan diri sendiri akan selalu menjadi fondasi dari sistem peradilan yang beradab dan berkeadilan.