Tanggung Jawab Wanprestasi Menurut Pasal 1243 KUH Perdata

Dalam kehidupan sehari-hari, perjanjian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari berbagai aspek kehidupan, baik dalam bisnis, kerja sama, maupun transaksi pribadi. Namun, tidak semua perjanjian berjalan mulus sesuai kesepakatan. Ada kalanya salah satu pihak gagal memenuhi kewajibannya, yang dalam hukum perdata dikenal sebagai wanprestasi.

Wanprestasi bukan sekadar istilah hukum yang terdengar rumit. Konsep ini pada dasarnya berbicara tentang ingkar janji—sesuatu yang sering kita temui dalam kehidupan. Misalnya, seseorang yang telah membayar uang muka pembelian barang tetapi barang tersebut tak kunjung dikirim. Atau penyewa rumah yang tiba-tiba berhenti membayar sewa tanpa alasan yang jelas. Semua ini bisa masuk dalam ranah wanprestasi, yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 1243 KUH Perdata.

Pasal 1243 KUH Perdata menjelaskan bahwa ganti rugi akibat wanprestasi baru bisa dituntut apabila pihak yang berutang (debitur) tidak memenuhi kewajibannya setelah diberikan peringatan (somasi) oleh pihak yang berhak (kreditur). Artinya, tidak serta-merta setiap kegagalan memenuhi perjanjian langsung dianggap wanprestasi tanpa adanya upaya pemberian kesempatan kepada debitur untuk memperbaiki atau memenuhi kewajibannya.

Dalam praktiknya, somasi menjadi syarat formal untuk menegaskan bahwa suatu wanprestasi telah terjadi. Hal ini penting karena tidak semua keterlambatan atau kegagalan dalam perjanjian langsung bisa dikategorikan sebagai wanprestasi. Ada faktor-faktor yang bisa memengaruhi, seperti keadaan memaksa (force majeure) yang menyebabkan pihak terkait benar-benar tidak bisa menjalankan kewajibannya.

Wanprestasi tidak hanya sebatas pada kegagalan total dalam memenuhi kewajiban. Terdapat beberapa bentuk wanprestasi yang diakui dalam hukum perdata, yaitu:

  1. Tidak melaksanakan perjanjian sama sekali, misalnya seseorang yang menjanjikan untuk menjual tanahnya tetapi kemudian membatalkan sepihak tanpa alasan yang sah.
  2. Melaksanakan perjanjian tetapi tidak sesuai dengan kesepakatan, contohnya seorang kontraktor yang membangun rumah tetapi tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati.
  3. Melaksanakan perjanjian tetapi terlambat, seperti keterlambatan dalam mengirimkan barang yang menyebabkan kerugian bagi pembeli.
  4. Melaksanakan perjanjian tetapi dengan cacat, misalnya produk yang dikirim ternyata rusak atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Baca Juga:  Mempertanyakan Manfaat Kasasi Demi Kepentingan Hukum Kepastian Hukum

Setiap bentuk wanprestasi memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Dalam konteks ini, kreditur bisa menuntut ganti rugi yang terdiri dari tiga unsur utama, yaitu:

– Biaya yang dikeluarkan akibat wanprestasi,

– Kerugian nyata yang diderita akibat kegagalan perjanjian,

– Bunga sebagai bentuk kompensasi atas keterlambatan atau pelanggaran perjanjian.

Seorang ahli hukum, J. Satrio, dalam bukunya tentang hukum perikatan menyatakan bahwa “dalam setiap perjanjian, ada prinsip pacta sunt servanda, yaitu janji harus ditepati. Jika dilanggar, maka akibat hukum harus diterapkan untuk menjaga keseimbangan.” Prinsip ini menegaskan bahwa kepercayaan dalam sebuah perjanjian adalah fondasi utama yang harus dijaga.

Ketika seseorang menghadapi wanprestasi, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh. Pertama, upaya negosiasi atau penyelesaian secara musyawarah sering menjadi pilihan awal. Banyak kasus wanprestasi yang bisa diselesaikan melalui mediasi tanpa harus melibatkan pengadilan.

Namun, jika penyelesaian secara damai tidak membuahkan hasil, kreditur dapat menempuh jalur hukum. Gugatan bisa diajukan ke pengadilan untuk menuntut ganti rugi atau bahkan meminta pembatalan perjanjian dengan segala konsekuensinya. Dalam beberapa kasus, hakim juga dapat memerintahkan eksekusi paksa terhadap debitur yang menolak memenuhi kewajibannya.

Contoh kasus yang sering terjadi dalam praktik adalah wanprestasi dalam perjanjian jual beli properti. Misalnya, seorang pembeli yang telah membayar sejumlah uang tetapi penjual tidak kunjung menyerahkan sertifikat tanah. Dalam situasi ini, pembeli berhak menuntut baik penyelesaian kewajiban maupun kompensasi atas kerugian yang diderita akibat keterlambatan tersebut.

Seorang pakar hukum perdata, Subekti, pernah mengatakan bahwa “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Ini berarti bahwa setiap perjanjian yang telah disepakati harus dihormati dan dijalankan sebagaimana mestinya, karena perjanjian itu sendiri memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Baca Juga:  Membentuk undang -undang diminta untuk mengatur tagihan perlindungan kerja

Wanprestasi bukan sekadar permasalahan hukum yang jauh dari kehidupan kita, tetapi sesuatu yang sangat dekat dengan keseharian. Dari transaksi kecil hingga perjanjian bisnis besar, risiko wanprestasi selalu ada. Oleh karena itu, pemahaman terhadap ketentuan Pasal 1243 KUH Perdata menjadi penting agar setiap pihak dalam perjanjian mengetahui hak dan kewajibannya serta langkah yang dapat ditempuh jika terjadi pelanggaran.

Pada akhirnya, hukum tidak hanya sekadar aturan tertulis, tetapi juga cerminan dari bagaimana kepercayaan dan tanggung jawab dijaga dalam setiap perjanjian yang dibuat. Kejelasan hukum dalam wanprestasi bukan hanya untuk menghukum yang lalai, tetapi juga untuk memastikan bahwa keadilan tetap berjalan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat

Picture of U. Andre Baharudin S.Tr.Pi
U. Andre Baharudin S.Tr.Pi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© LBH CADHAS 2024.
All rights reserved.
//
Tim dukungan konsultasi siap menjawab pertanyaan Anda.
👋 Hallo, Silahkan beri tahu apa yang dapat kami bantu?
LBH CADHAS Kami ingin menunjukkan kepada Anda pemberitahuan untuk berita dan pembaruan terkini.
Dismiss
Allow Notifications