Pasal 1338 KUHPerdata: Kebebasan Berkontrak, Masihkah Berlaku Mutlak?

Kebebasan berkontrak adalah prinsip fundamental dalam hukum perdata yang telah lama menjadi pilar dalam hubungan hukum antarindividu dan badan hukum. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menegaskan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Kalimat ini mengandung makna yang begitu kuat—bahwa kontrak adalah hukum itu sendiri bagi para pihak yang menandatanganinya.

Namun, apakah prinsip ini masih berlaku mutlak dalam praktik hukum saat ini? Jika kita melihat realitas di lapangan, kebebasan berkontrak tampaknya tidak lagi dapat diartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Ada berbagai regulasi yang mulai membatasi dan mengoreksi konsep ini, terutama dalam upaya melindungi pihak yang lebih lemah dalam suatu perjanjian. Maka, pertanyaan yang lebih tepat bukan lagi apakah kebebasan berkontrak masih mutlak, tetapi sejauh mana kebebasan itu dapat dijalankan dalam batasan hukum dan keadilan.

Dalam teori hukum klasik, kebebasan berkontrak didasarkan pada asas pacta sunt servanda, yang berarti bahwa perjanjian yang dibuat harus dipatuhi oleh para pihak. Ini sejalan dengan pemikiran Friedrich Carl von Savigny, seorang ahli hukum Jerman, yang mengatakan bahwa kontrak adalah ekspresi dari kehendak bebas individu yang tidak boleh diintervensi oleh negara.

Namun, seiring berjalannya waktu, pemikiran ini mengalami pergeseran. Kebebasan individu dalam membuat perjanjian mulai dibatasi oleh norma hukum, moralitas, dan kepentingan umum. Tidak semua pihak memiliki posisi tawar yang seimbang dalam negosiasi kontrak. Dalam praktiknya, banyak perjanjian yang dibuat secara “sah” tetapi justru merugikan salah satu pihak, terutama dalam hubungan bisnis dan ketenagakerjaan.

Contoh nyata yang sering kita jumpai adalah dalam kontrak kerja. Banyak perusahaan memasukkan klausul baku yang cenderung menguntungkan pihak pemberi kerja dan merugikan karyawan. Dalam beberapa kasus, pekerja bahkan tidak diberikan kesempatan untuk menegosiasikan isi kontrak. Mereka hanya diberi dua pilihan: tanda tangan atau kehilangan pekerjaan. Jika kita masih berpegang teguh pada konsep kebebasan berkontrak yang mutlak, maka kontrak semacam ini tetap dianggap sah dan harus dihormati.

Baca Juga:  Tawuran, Senjata Tajam, dan Konsep Bela Diri

Namun, dalam perkembangan hukum modern, pandangan ini mulai berubah. Mahkamah Agung Indonesia dalam beberapa putusannya telah membatalkan perjanjian yang dinilai tidak adil atau bertentangan dengan kepentingan umum. Ini membuktikan bahwa kebebasan berkontrak tidak lagi bisa ditafsirkan secara kaku.

Kebebasan berkontrak kini harus memperhitungkan batasan hukum, kepatutan, dan ketertiban umum. Pasal 1320 KUHPerdata sendiri telah mengatur bahwa perjanjian harus memenuhi empat syarat sah, yaitu:

1. Kesepakatan para pihak
2. Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian
3. Adanya suatu hal tertentu sebagai objek perjanjian
4. Sebab yang halal atau tidak bertentangan dengan hukum

Jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan atau bahkan dianggap tidak sah.

Di luar KUHPerdata, ada regulasi lain yang mempersempit kebebasan berkontrak dalam rangka memberikan perlindungan hukum. Misalnya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur bahwa klausul yang bersifat eksploitatif dalam perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen dapat dianggap tidak berlaku. Hal ini penting untuk mencegah adanya praktik bisnis yang merugikan konsumen dengan dalih kebebasan berkontrak.

Dalam dunia perbankan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) juga mengawasi perjanjian antara bank dan nasabah. Klausul sepihak yang merugikan nasabah bisa dibatalkan oleh pengadilan. Ini menunjukkan bahwa hukum mulai lebih aktif dalam mengontrol isi perjanjian yang dinilai tidak adil.

Seiring perkembangan ekonomi dan sosial, praktik hukum pun menyesuaikan diri. Saat ini, hakim memiliki kewenangan untuk menafsirkan dan menilai apakah suatu perjanjian layak ditegakkan berdasarkan prinsip keadilan.

Salah satu putusan menarik yang dapat menjadi referensi adalah Putusan Mahkamah Agung No. 469 K/Pdt.Sus-PHI/2017, di mana pengadilan membatalkan klausul dalam kontrak kerja yang dianggap merugikan karyawan. Dalam putusan tersebut, hakim menyatakan bahwa meskipun suatu kontrak telah ditandatangani, tetapi jika isi kontrak tersebut tidak adil dan bertentangan dengan peraturan ketenagakerjaan, maka kontrak tersebut tidak dapat diberlakukan.

Baca Juga:  Pembaruan Eksekusi Putusan Perdata yang Lebih Realistis

Dari sini kita bisa melihat bahwa prinsip kebebasan berkontrak semakin dikontrol oleh hukum, terutama untuk mencegah adanya penyalahgunaan kekuasaan dalam perjanjian.

Pada akhirnya, kebebasan berkontrak tetap menjadi prinsip utama dalam hukum perdata. Namun, kebebasan ini tidak bisa lagi dimaknai sebagai kebebasan tanpa batas. Ada hukum yang mengawasi, ada nilai kepatutan yang harus diperhitungkan, dan ada keadilan yang harus dijunjung tinggi.

Apakah ini berarti kebebasan berkontrak sudah mati? Tidak juga. Prinsip ini masih berlaku, tetapi dengan interpretasi yang lebih modern dan manusiawi. Sebagaimana dikatakan oleh Lon L. Fuller, seorang filsuf hukum Amerika, “Hukum tidak boleh hanya menjadi alat kekuasaan, tetapi juga harus mencerminkan keadilan yang hidup di masyarakat.

Jadi, kebebasan berkontrak tetap ada, tetapi bukan lagi dalam bentuknya yang mutlak. Ia berkembang, menyesuaikan diri dengan zaman, dan yang paling penting—berusaha untuk tetap adil bagi semua pihak.

Picture of U. Andre Baharudin S.Tr.Pi
U. Andre Baharudin S.Tr.Pi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© LBH CADHAS 2024.
All rights reserved.
//
Tim dukungan konsultasi siap menjawab pertanyaan Anda.
👋 Hallo, Silahkan beri tahu apa yang dapat kami bantu?
LBH CADHAS Kami ingin menunjukkan kepada Anda pemberitahuan untuk berita dan pembaruan terkini.
Dismiss
Allow Notifications