Kajian Hukum tentang Ultra Vires dalam Perpol 3 Tahun 2025

Saya cukup tergelitik ketika membaca berita tentang Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia yang menerbitkan Peraturan Kepolisian Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan terhadap Orang Asing. Di dalamnya, ada satu pasal yang dengan terang menyebut bahwa jurnalis asing yang ingin meliput di Indonesia diwajibkan memiliki surat keterangan kepolisian.

Dalam benak saya, muncul banyak pertanyaan. Apa urgensinya? Dari mana wewenang itu bersumber? Dan mengapa kewenangan tersebut digunakan untuk menyentuh ranah yang begitu sensitif: jurnalisme? Sebagai orang yang cukup lama mengamati perkembangan hukum administrasi negara, saya tak bisa melepaskan pandangan bahwa peraturan ini patut didudukkan dalam kerangka ultra vires, sebuah prinsip klasik dalam hukum tata negara yang berarti tindakan melampaui kewenangan.

Dalam konteks ini, saya memandang bahwa Kepolisian telah mengambil peran yang bukan miliknya, dan dalam prosesnya, membuka kotak pandora baru dalam relasi negara dan kebebasan sipil.

Peraturan Kepolisian sejatinya merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan dalam bentuk peraturan pelaksana. Namun sebagaimana kita pahami bersama, sifat pelaksana berarti ia harus (meskipun saya enggan menggunakan kata itu di luar konteks teknis) bersandar pada sumber kewenangan yang sah. Ketika Polri mengatur soal pengawasan terhadap jurnalis asing, terutama yang menyangkut aspek kebebasan pers, ranah itu sebetulnya telah diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan sebagian lainnya diatur dalam Undang-Undang Keimigrasian.

Dalam dua sumber hukum tersebut, tidak ditemukan kewenangan eksplisit yang memberikan ruang bagi Polri untuk menyeleksi atau memberikan surat keterangan bagi jurnalis asing.
Saya percaya bahwa negara memiliki kepentingan dalam mengatur keberadaan orang asing, apalagi jika menyangkut keamanan nasional. Tetapi ketika pengaturan tersebut bersinggungan langsung dengan kebebasan informasi dan kerja jurnalistik, maka pendekatannya tidak bisa hanya sekadar administratif dan prosedural.

Baca Juga:  Perjanjian Damai Batal, PT Sritex Bangkrut

Dalam teori negara hukum yang dikembangkan oleh Friedrich Julius Stahl, dikatakan bahwa kekuasaan negara dibatasi oleh hukum dan tidak sewenang-wenang. Artinya, kekuasaan negara hanya sah bila dijalankan dalam batas-batas hukum yang telah ditentukan.

Kritik Dewan Pers dan pegiat hak asasi manusia menjadi relevan dalam konteks ini. Bukan karena mereka menolak pengawasan terhadap orang asing secara mutlak, tetapi karena mereka menilai bahwa langkah ini dilakukan secara sepihak, tertutup, dan tidak partisipatif. Tidak ada ruang dialog yang terbuka sebelum peraturan itu diberlakukan. Ini sangat bertentangan dengan prinsip good governance, di mana partisipasi publik dan transparansi menjadi unsur penting dalam pembentukan kebijakan yang menyentuh kepentingan publik.
Saya ingin menekankan bahwa penggunaan kekuasaan administratif seperti ini—dengan mengatur siapa yang boleh dan tidak boleh meliput—bisa menjadi pintu masuk bagi pelanggaran konstitusional yang lebih luas.

Kebebasan pers dijamin oleh Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945, dan ketika hak ini dibatasi oleh peraturan tingkat institusi tanpa legitimasi hukum yang kuat, maka potensi pelanggarannya menjadi sangat besar.

Jika ditelusuri lebih jauh, konsep ultra vires dalam hukum Indonesia bisa dirujuk pada teori kewenangan dari Utrecht yang membagi kekuasaan menjadi tiga jenis: atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi adalah kekuasaan asli yang diberikan oleh undang-undang. Delegasi adalah pelimpahan dari satu organ ke organ lain. Sedangkan mandat adalah pelaksanaan wewenang atas nama pejabat lain.

Dalam hal ini, Polri tampaknya tidak memiliki atribusi kewenangan untuk mengatur jurnalis asing secara substantif. Tidak ada pelimpahan dari undang-undang atau institusi yang memiliki atribusi tersebut.

Artinya, bila tetap dilakukan, ini merupakan tindakan tanpa dasar hukum yang sah—dan inilah yang disebut sebagai tindakan ultra vires.
Profesor Jimly Asshiddiqie pernah menulis dalam bukunya Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia bahwa: “Semua bentuk kekuasaan harus memiliki dasar hukum. Jika kekuasaan digunakan tanpa dasar, maka ia tak sah dalam kerangka negara hukum.”

Baca Juga:  YLKI Sebut Kenaikan Tarif Tol Benar-benar Pelanggaran Hak Konsumen

Saya percaya bahwa prinsip itu masih dan akan selalu relevan. Ketika Polri menerbitkan Perpol yang menjangkau wilayah kebebasan pers tanpa dasar hukum yang kuat, maka itu adalah pelanggaran serius terhadap prinsip legalitas.

Yang juga perlu dikritisi adalah soal tujuan. Apakah benar ini untuk keamanan nasional? Atau ada semacam ketidaknyamanan institusional terhadap liputan-liputan kritis dari jurnalis asing? Jika yang kedua, maka ini adalah bentuk sensor administratif yang dibungkus dengan dalih formal.

Padahal dalam negara demokrasi, kritik dan liputan tajam adalah bagian dari kehidupan bernegara yang sehat.

Saya menulis ini bukan dalam posisi membenci aparat atau institusi. Justru saya menulis ini karena percaya bahwa negara hukum hanya bisa berjalan bila setiap elemen kekuasaan menghormati batasnya sendiri.

Bila polisi mulai menentukan siapa yang boleh meliput dan siapa yang tidak, maka kita sedang menyaksikan pergeseran fungsi: dari penegak hukum menjadi penentu opini. Dan itu, bagi saya, berbahaya.

Picture of U. Andre Baharudin S.Tr.Pi
U. Andre Baharudin S.Tr.Pi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© LBH CADHAS 2024.
All rights reserved.
//
Tim dukungan konsultasi siap menjawab pertanyaan Anda.
👋 Hallo, Silahkan beri tahu apa yang dapat kami bantu?
LBH CADHAS Kami ingin menunjukkan kepada Anda pemberitahuan untuk berita dan pembaruan terkini.
Dismiss
Allow Notifications