Asas Kebebasan Berkontrak dalam Hukum Perdata: Batasan dan Implikasinya

Dalam dunia hukum perdata, ada satu asas yang sering menjadi landasan bagi para pihak dalam membuat perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak. Secara sederhana, asas ini memberikan hak bagi setiap orang untuk membuat, menyepakati, dan menjalankan kontrak sesuai dengan kehendak mereka. Sekilas, asas ini tampak seperti bentuk kemerdekaan dalam hukum, tetapi di baliknya, ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan agar kontrak tetap sah, adil, dan dapat diterapkan secara efektif.

Saya sering berpikir, sejauh mana seseorang benar-benar bebas dalam membuat perjanjian? Apakah kebebasan itu mutlak, atau justru ada batasan yang membuatnya tidak seutuhnya “bebas”? Faktanya, dalam praktik hukum, kebebasan berkontrak ternyata tidak sepenuhnya tanpa batas. Ada regulasi yang mengatur, ada kepentingan yang harus dijaga, dan ada nilai keadilan yang perlu diperhatikan.

Asas kebebasan berkontrak secara eksplisit diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan:

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Artinya, selama kontrak dibuat oleh para pihak secara sah, maka kontrak itu mengikat layaknya sebuah undang-undang yang wajib dipatuhi. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi agar kontrak tersebut sah, yaitu harus memenuhi syarat sah perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata:

1. Kesepakatan para pihak,
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian,
3. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan,
4. Sebab yang halal.

Empat unsur ini adalah fondasi utama yang membuat kontrak memiliki kekuatan hukum. Jika salah satu unsur ini tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan atau bahkan dianggap tidak pernah ada.

Tapi, apakah hanya itu saja? Ternyata tidak. Dalam praktiknya, kebebasan berkontrak juga dibatasi oleh hukum, moral, dan kepentingan umum. Ini yang sering kali menimbulkan perdebatan, terutama dalam konteks perlindungan bagi pihak yang lebih lemah dalam suatu kontrak.

Baca Juga:  Hukum Fidusia di Indonesia: Perlindungan Kreditur dan Risiko Debitur

Kebebasan tidak selalu berarti tanpa aturan. Jika kebebasan berkontrak dibiarkan benar-benar bebas, maka akan ada risiko penyalahgunaan oleh pihak yang lebih kuat. Itulah mengapa ada beberapa batasan yang diterapkan dalam hukum perdata, di antaranya:

1. Peraturan Perundang-undangan
Kontrak tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku. Misalnya, seseorang tidak bisa membuat perjanjian jual beli narkoba atau senjata ilegal hanya karena ada kesepakatan antara penjual dan pembeli. Contoh lainnya, dalam kontrak kerja, perusahaan tidak boleh membuat perjanjian yang melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan.

2. Ketertiban Umum dan Kesusilaan
Jika sebuah kontrak bertentangan dengan norma sosial dan moral yang berlaku, maka perjanjian tersebut bisa dianggap tidak sah. Misalnya, perjanjian yang bersifat merendahkan martabat manusia atau mengandung unsur eksploitasi. Sudikno Mertokusumo, seorang pakar hukum perdata, pernah mengatakan bahwa:

Hukum tidak hanya soal aturan tertulis, tetapi juga tentang keadilan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.”

Artinya, kontrak yang secara hukum sah sekalipun bisa dibatalkan jika bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarakat.

3. Keseimbangan dan Perlindungan bagi Pihak yang Lebih Lemah
Dalam hubungan kontraktual, sering kali ada pihak yang memiliki posisi lebih kuat dibandingkan pihak lainnya. Contohnya dalam kontrak kredit bank, kontrak asuransi, atau kontrak kerja.

Dalam kasus ini, kebebasan berkontrak sering kali menjadi ilusi. Mengapa? Karena pihak yang lebih kuat bisa saja menyusun kontrak secara sepihak, sementara pihak yang lebih lemah hanya bisa menerima atau menolak tanpa banyak pilihan. Untuk mengatasi ketimpangan ini, hukum memberikan perlindungan, misalnya melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) yang melarang klausul baku yang merugikan konsumen.

Implikasi dalam Praktik Hukum

Baca Juga:  Kantor Hukum Haris Azhar Meluncurkan Buku ESG dalam Bingkai Perundang-undangan di Indonesia

1. Dalam Dunia Bisnis
Di dunia bisnis, kebebasan berkontrak sangat penting karena memberikan fleksibilitas bagi para pelaku usaha untuk membuat kesepakatan. Namun, jika tidak diatur dengan baik, bisa terjadi praktik monopoli, penyalahgunaan posisi dominan, atau bahkan penipuan berkedok kontrak yang sah.

2. Dalam Perjanjian Konsumen
Sering kali kita melihat kontrak baku dalam transaksi sehari-hari, seperti saat membeli tiket pesawat atau menggunakan layanan digital. Masalahnya, banyak klausul dalam kontrak tersebut yang merugikan konsumen, misalnya ketentuan bahwa penyedia layanan tidak bertanggung jawab atas segala kerusakan yang terjadi.

Hukum mengantisipasi hal ini dengan Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa klausul yang merugikan konsumen bisa dianggap tidak sah.

3. Dalam Perjanjian Kerja
Pekerja sering kali tidak memiliki pilihan selain menerima kontrak yang sudah disiapkan oleh perusahaan. Jika kontrak tersebut tidak adil, apakah pekerja tetap wajib menerimanya?

Di sinilah hukum memberikan perlindungan melalui Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang membatasi kebebasan berkontrak dalam hubungan kerja agar tidak merugikan pekerja. Misalnya, perusahaan tidak bisa begitu saja memutus hubungan kerja tanpa alasan yang sah atau menetapkan jam kerja yang tidak manusiawi.

Banyak kasus di Indonesia yang menunjukkan bahwa kebebasan berkontrak tidak mutlak. Salah satu contoh adalah sengketa antara konsumen dengan pengembang properti. Dalam beberapa kasus, pengembang mencantumkan klausul sepihak dalam perjanjian jual beli rumah, seperti larangan pembeli untuk menuntut jika terjadi keterlambatan pembangunan.

Ketika kasus ini dibawa ke pengadilan, banyak hakim yang akhirnya membatalkan klausul tersebut karena dianggap tidak adil. Ini membuktikan bahwa meskipun ada kebebasan berkontrak, hukum tetap bisa campur tangan jika terjadi ketidakseimbangan yang merugikan salah satu pihak.

Baca Juga:  Tinjauan Hukum Pasal 1666 KUH Perdata tentang Hibah dan Persoalan Hukumnya

Karena pada dasarnya, asas kebebasan berkontrak memang memberikan ruang bagi setiap orang untuk membuat kesepakatan sesuai dengan keinginan mereka. Namun, kebebasan ini bukan tanpa batas. Hukum tetap hadir untuk memastikan bahwa kontrak dibuat dengan adil, tidak melanggar aturan, dan tidak merugikan pihak yang lebih lemah.

Pada akhirnya, kebebasan dalam hukum bukanlah kebebasan yang liar, melainkan kebebasan yang tetap harus mempertimbangkan keadilan dan keseimbangan bagi semua pihak yang terlibat. Sebab, dalam setiap kontrak, ada dua hal yang harus dijaga: hak dan kewajiban yang setara antara para pihak.

Picture of U. Andre Baharudin S.Tr.Pi
U. Andre Baharudin S.Tr.Pi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© LBH CADHAS 2024.
All rights reserved.
//
Tim dukungan konsultasi siap menjawab pertanyaan Anda.
👋 Hallo, Silahkan beri tahu apa yang dapat kami bantu?
LBH CADHAS Kami ingin menunjukkan kepada Anda pemberitahuan untuk berita dan pembaruan terkini.
Dismiss
Allow Notifications