Ketika kita membicarakan hukum perdata di Indonesia, tak bisa dipungkiri bahwa pijakan utamanya masih bertumpu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang sejatinya merupakan adaptasi dari Burgerlijk Wetboek (BW) peninggalan kolonial Belanda. Meskipun telah mengalami beberapa penyesuaian, banyak yang berpendapat bahwa regulasi ini belum sepenuhnya selaras dengan dinamika masyarakat modern. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah sudah saatnya kita mempertimbangkan kodifikasi ulang yang lebih relevan dengan perkembangan zaman?
Pada tahun 1830, Belanda membentuk kodifikasi hukum perdata yang kemudian diberlakukan di Indonesia pada tahun 1848. Kodifikasi ini dikenal sebagai KUHPerdata dan menjadi dasar hukum perdata bagi golongan Eropa di Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka, melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, KUHPerdata tetap dinyatakan berlaku hingga saat ini.
KUHPerdata yang kita gunakan saat ini berasal dari abad ke-19, sebuah era yang sangat berbeda dengan kondisi sosial dan ekonomi Indonesia masa kini. Sebagai contoh, dalam bidang transaksi digital dan e-commerce, regulasi yang ada belum mampu mengakomodasi kebutuhan dan tantangan yang muncul. Hal ini menimbulkan kekosongan hukum yang berpotensi merugikan masyarakat.
Selain itu, KUHPerdata masih banyak menggunakan terminologi dan konsep hukum Belanda yang terkadang tidak sejalan dengan nilai dan sistem hukum nasional kita. Dengan berkembangnya hukum nasional, banyak undang-undang baru yang berdiri sendiri tanpa integrasi dengan KUHPerdata, menciptakan ketidakharmonisan dalam sistem hukum kita.
Kodifikasi ulang dapat membantu menciptakan hukum yang lebih sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat serta penegak hukum. Saat ini, banyak kasus perdata yang diselesaikan dengan merujuk pada berbagai undang-undang sektoral, yang sering kali membingungkan dalam penerapannya. Dengan kodifikasi yang lebih modern, diharapkan tercipta kepastian hukum yang lebih baik.
Namun, upaya kodifikasi ulang bukan tanpa tantangan. Proses legislasi yang panjang dan kompleks menjadi salah satu hambatan utama. Selain itu, diperlukan kesepakatan antara berbagai pihak, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan pelaku usaha, untuk memastikan bahwa regulasi yang disusun dapat diterima dan diterapkan dengan baik. Harmonisasi dengan undang-undang lain yang sudah ada juga menjadi tantangan tersendiri.
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, seorang pakar hukum perdata, pernah menyatakan bahwa “kodifikasi hukum perdata yang ada saat ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perlu dilakukan pembaruan agar lebih relevan.” Pendapat ini sejalan dengan pandangan banyak pihak yang menginginkan adanya pembaruan dalam sistem hukum perdata kita.
Melihat berbagai permasalahan di atas, kodifikasi ulang hukum perdata Indonesia tampaknya menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak. Dengan melakukan pembaruan, diharapkan sistem hukum perdata kita dapat lebih responsif terhadap perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Namun, proses ini memerlukan kerjasama dan komitmen dari berbagai pihak untuk memastikan bahwa hasilnya benar-benar bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.