Tinjauan Hukum Pasal 1666 KUH Perdata tentang Hibah dan Persoalan Hukumnya

Hibah merupakan salah satu bentuk peralihan hak atas suatu benda yang dilakukan secara cuma-cuma. Diatur dalam Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), hibah didefinisikan sebagai “suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.” Secara sederhana, hibah adalah pemberian yang dilakukan secara sukarela dan bersifat final, asalkan memenuhi syarat yang ditentukan oleh hukum.

Namun, dalam praktiknya, hibah tidak selalu berjalan tanpa masalah. Tidak sedikit sengketa yang muncul akibat interpretasi yang berbeda mengenai keabsahan hibah, hak dan kewajiban para pihak, hingga kemungkinan pencabutan hibah yang telah diberikan. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji lebih dalam mengenai ketentuan hukum terkait hibah, termasuk persoalan-persoalan yang sering muncul dalam pelaksanaannya.

Pasal 1666 KUH Perdata mengatur bahwa hibah harus memenuhi unsur utama, yaitu diberikan secara cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali. Artinya, pemberi hibah tidak boleh menerima imbalan dalam bentuk apa pun dan tidak bisa serta-merta membatalkan hibah yang telah diberikan.

Namun, agar hibah sah secara hukum, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:

1. Pemberi hibah harus memiliki kapasitas hukum
Hibah hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kewenangan penuh atas benda yang dihibahkan. Orang yang berada dalam keadaan pailit atau di bawah perwalian, misalnya, tidak dapat melakukan hibah.

2. Dilakukan dalam bentuk akta notaris
Pasal 1682 KUH Perdata menegaskan bahwa hibah harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Jika tidak, hibah tersebut dianggap tidak sah secara hukum. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak dan mencegah sengketa di kemudian hari.

Baca Juga:  Cara Cek Kosmetik BPOM Asli atau Palsu Secara Online

3. Benda yang dihibahkan harus jelas kepemilikannya
Penghibahan tidak bisa dilakukan terhadap benda yang masih dalam sengketa atau bukan merupakan hak penuh dari pemberi hibah.

Hibah juga memiliki batasan tertentu, terutama dalam konteks warisan. Menurut Pasal 1678 KUH Perdata, hibah tidak boleh mengurangi bagian mutlak (legitieme portie) ahli waris yang berhak atas warisan tersebut. Hal ini sering menjadi sumber sengketa dalam keluarga, terutama jika hibah dilakukan tanpa persetujuan ahli waris lainnya.

Dalam hibah, terdapat dua pihak utama: pemberi hibah dan penerima hibah.

Hak dan kewajiban pemberi hibah: Pemberi hibah berhak menentukan benda yang akan dihibahkan serta syarat tertentu dalam pemberian hibah. Namun, setelah hibah dilakukan, ia tidak bisa menarik kembali atau membatalkan hibah kecuali dalam keadaan tertentu yang ditentukan oleh hukum, seperti jika penerima hibah melakukan tindakan yang merugikan pemberi hibah secara hukum atau moral.

Hak dan kewajiban penerima hibah: Penerima hibah berhak menerima benda yang dihibahkan sesuai dengan ketentuan hukum. Namun, dalam beberapa kasus, ia juga bisa dikenakan kewajiban tertentu yang disepakati dalam perjanjian hibah, seperti menggunakan benda hibah untuk tujuan tertentu atau tidak boleh menjualnya dalam jangka waktu tertentu.

Sebagai contoh, dalam sebuah putusan Mahkamah Agung, terdapat kasus di mana seorang ayah menghibahkan tanah kepada anaknya dengan syarat tanah tersebut tidak boleh dijual. Namun, karena anak tersebut menjual tanah tersebut tanpa sepengetahuan ayahnya, terjadi sengketa hukum terkait apakah hibah tersebut masih berlaku atau dapat dibatalkan.

Meskipun secara teori hibah bersifat final dan tidak dapat ditarik kembali, dalam praktiknya sering terjadi perselisihan mengenai pencabutan hibah. Salah satu persoalan yang paling sering muncul adalah ketika pemberi hibah merasa dirugikan setelah melakukan hibah.

Baca Juga:  President University Hadirkan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Angola dalam Kuliah Tamu

Sebagai contoh, dalam beberapa kasus, orang tua menghibahkan rumah kepada anaknya dengan harapan anak tersebut akan merawat mereka di masa tua. Namun, setelah hibah diberikan, sang anak justru mengabaikan orang tuanya atau bahkan menjual rumah tersebut tanpa izin. Dalam situasi seperti ini, muncul pertanyaan: dapatkah hibah tersebut dicabut?

Pasal 1688 KUH Perdata menyebutkan bahwa hibah dapat dibatalkan jika penerima hibah terbukti melakukan tindakan yang sangat tidak bersyukur (ingratitude) terhadap pemberi hibah, seperti melakukan kekerasan, pencemaran nama baik, atau tidak memberikan nafkah kepada pemberi hibah yang berada dalam kondisi membutuhkan. Namun, pencabutan hibah ini harus melalui proses hukum dan tidak bisa dilakukan secara sepihak.

Selain itu, sengketa hibah juga kerap muncul dalam konteks warisan. Jika hibah diberikan kepada salah satu ahli waris, ahli waris lainnya sering kali menggugat dengan alasan hibah tersebut merugikan bagian mereka dalam warisan. Dalam banyak kasus, pengadilan harus menentukan apakah hibah tersebut sah dan apakah masih menyisakan bagian mutlak bagi ahli waris lainnya.

Seorang ahli hukum, Prof. Sudikno Mertokusumo, pernah menyatakan, “Hukum perdata sering kali tidak hanya berbicara tentang kepastian, tetapi juga tentang keadilan dalam hubungan antarindividu.” Pernyataan ini relevan dalam kasus hibah, karena meskipun secara hukum hibah bersifat final, dalam beberapa kondisi keadilan menjadi pertimbangan penting dalam penyelesaiannya.

Kasus hibah sering kali muncul dalam sengketa keluarga, terutama ketika tidak ada kejelasan mengenai niat pemberi hibah atau ketika hibah dilakukan secara sepihak tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap ahli waris lainnya.

Salah satu kasus terkenal adalah ketika seorang ayah menghibahkan seluruh tanahnya kepada anak sulungnya, sementara anak-anak lainnya tidak mendapatkan bagian. Setelah ayahnya meninggal, anak-anak lain menggugat dengan alasan hibah tersebut telah mengurangi hak mereka sebagai ahli waris. Pengadilan kemudian mempertimbangkan apakah hibah tersebut sah dan apakah masih menyisakan bagian yang adil bagi ahli waris lainnya.

Baca Juga:  Akademisi FH Unej berharap bahwa tidak akan ada ketidakseimbangan dalam otoritas APH di RKUHAP

Dari perspektif hukum, kasus semacam ini menunjukkan bahwa meskipun hibah memiliki dasar hukum yang jelas dalam KUH Perdata, dalam praktiknya sering kali muncul pertimbangan moral, sosial, dan keadilan yang harus diperhitungkan dalam penyelesaiannya.

Hibah, sebagaimana diatur dalam Pasal 1666 KUH Perdata, merupakan bentuk peralihan hak yang bersifat final dan tidak dapat ditarik kembali, asalkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum. Namun, dalam praktiknya, hibah sering kali menjadi sumber sengketa, terutama dalam konteks keluarga dan warisan.

Persoalan yang muncul umumnya berkaitan dengan pencabutan hibah, hak ahli waris, serta keabsahan hibah jika tidak dilakukan sesuai prosedur hukum. Oleh karena itu, sebelum melakukan hibah, penting bagi semua pihak untuk memahami konsekuensinya secara hukum agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari.

Pemahaman yang lebih baik tentang hibah bukan hanya membantu dalam menyelesaikan sengketa, tetapi juga memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat. Karena dalam hukum perdata, kepastian dan keadilan selalu berjalan berdampingan.

Picture of U. Andre Baharudin S.Tr.Pi
U. Andre Baharudin S.Tr.Pi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© LBH CADHAS 2024.
All rights reserved.
//
Tim dukungan konsultasi siap menjawab pertanyaan Anda.
👋 Hallo, Silahkan beri tahu apa yang dapat kami bantu?
LBH CADHAS Kami ingin menunjukkan kepada Anda pemberitahuan untuk berita dan pembaruan terkini.
Dismiss
Allow Notifications