Merupakan solusi yang sehat, ketika ABW tidak dapat menjadi peserta Pilkada DKJ meskipun survei dan persyaratan telah terpenuhi serta telah ada pernyataan politik, maka hal tersebut merupakan indikasi lemahnya komitmen terhadap demokrasi.
Marginalisasi Anies Baswedan (ABW) dari kancah politik pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak hanya meninggalkan kesan dan dampak personal, tetapi juga berdampak pada jalannya mekanisme proses sistemik. Orientasi politik pasca pergeseran dari sifat ideologis menjadi orientasi kekuasaan yang semata-mata pragmatis (berorientasi pada pragmatisme) telah menurunkan gradasi sistem demokrasi itu sendiri. Nilai-nilai yang baik tidak lagi penting dibandingkan dengan pencapaian kekuasaan material.
Meskipun demokrasi selalu menjadi pilihan terbaik sistem transfer kekuasaan dibandingkan dengan sistem politik pendukung kerajaannamun seringkali dalam praktiknya nilai-nilai monarki menjadi inspirasi bagi para pelakunya dan bahkan menjadi “alat yang ampuh” dalam perebutan kekuasaan, khususnya oleh para penguasa. yang adaPenggunaan birokrasi hierarkis menjadi efektif sebagai instrumen pemaksaan dalam memenangkan anggota keluarga, kelompok, dan golongan. Oleh karena itu, wajar jika masyarakat kemudian menyebutnya sebagai “politik dinasti” (PD). Meskipun PD ini juga menjalankan (lebih tepatnya menggunakan jalur) demokrasi, ia terbebas dari nilai-nilai empati, netralitas, dan rasa malu. Orientasi kekuasaan telah membutakan (menutup) mata hatinya, karena “kekuasaan” telah menjadi tujuan di atas segalanya.
Baca Juga:
Jika pada masa lalu perjalanan politik diwarnai dengan kekerasan fisik dan psikis, salah satunya memanfaatkan komando militer dan stigma komunisme, pascareformasi sekalipun kekuasaan seolah menggunakan modus yang berbeda, namun substansi penggunaan kekerasan tersebut hampir sama. Birokrasi sipil termasuk penggunaan birokrasi peradilan di samping program bantuan sosial dari negara menjadi alat yang efektif bagi langgengnya kekuasaan.
Ambisi untuk memperpanjang kekuasaan tiga periode itu gagal karena selain jelas-jelas bertentangan dengan sistem yang adajuga telah dipatahkan oleh ketegasan pribadi pimpinan partai yang dulunya menjadi pendukung dengan tegas dan konsisten menolak perpanjangan durasi kekuasaan, padahal sebagian besar oligarki partai telah dikalahkan. Konvergensi antara ketegasan pimpinan partai pendukung dengan aspirasi gerakan rakyat melalui demonstrasi massa, akhir-akhir ini juga terbukti telah mematahkan ambisi untuk menipu (lebih tepatnya untuk melawan dan mengangkangi). Bahkan putusan pengadilan, dalam hal ini putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam mekanisme persyaratan peserta pemilihan kepala daerah (pilkada). Ini menjadi bukti bahwa manipulasi teknis politik oleh alat oligarki termasuk partai juga dapat dipatahkan oleh keinginan rakyat.
Quo vadis demokrasi Indonesia?
Capaian politik Indonesia yang progresif tidak bisa dilepaskan dari lahirnya putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Pasca reformasi, era yang juga melahirkan Mahkamah Konstitusi, suatu sistem termasuk sistem pemilihan kepala daerah tidak mudah dieksploitasi untuk kepentingan dinasti. Dua putusan Mahkamah Konstitusi terakhir sangat jelas mencerminkan hal tersebut, terutama terkait ambang atau ambang batas partai yang berhak mengajukan calon, dan perhitungan batas usia minimum dalam pemilihan kepala daerah, meskipun Mahkamah Agung (MA) juga secara manipulatif menentukan hal ini pada saat pelantikan.
Jika sebelum reformasi DPR dan Pemerintah ditempatkan sebagai lembaga legislatif yang membuat aturan-aturan yang mutlak dan seakan-akan berwenang menguningkan suatu sistem melalui undang-undang, itu berarti pula kedaulatan penuh dalam menyelenggarakan sistem kenegaraan berada di tangan partai-partai yang mengisi DPR. Namun, setelah reformasi, bukan hanya partai-partai saja yang berdaulat, lembaga yudikatif melalui putusan-putusan Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi juga dapat berperan dalam membangun arah sistem kenegaraan yang tentunya berlandaskan pada sistem nilai demokrasi.
Sumber: hukumonline
Source link