Dua hari menjelang peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79, Mahkamah Agung mengunggah salah satu putusannya yang menarik terkait kecelakaan lalu lintas. Intinya, putusan Mahkamah Agung tersebut membuka wacana tentang bentuk kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, baik yang disengaja (dolus, maksud) atau kelalaian (kesalahan).
Wacana yang muncul dalam keputusan tersebut sebuah quo dimulai dari dakwaan jaksa dengan menggunakan Pasal 311 ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) sebagai dakwaan primer, dan Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ sebagai dakwaan subsider. Pasal 311 merumuskan perbuatan dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan jiwa atau barang, disertai ancaman pidana. Sebaliknya, Pasal 310 UU LLAJ memuat ancaman pidana dan tindak pidana lalu lintas yang terjadi karena kelalaian. Ayat (3) pasal ini mengatur ancaman pidana apabila korban kecelakaan meninggal dunia.
Dalam persidangan, jaksa memilih mendakwa terdakwa petani asal Kabupaten Gorontalo dengan Pasal 311 ayat (5) UU LLAJ. Jaksa juga meminta hakim menjatuhkan pidana penjara selama lima tahun dikurangi masa tahanan. Pada tingkat pertama, hakim Pengadilan Negeri Limboto menyatakan dakwaan primer Pasal 311 ayat (5) tidak terbukti, sehingga terdakwa dibebaskan. Majelis hakim berpendapat, yang terbukti adalah dakwaan subsider, karena tindak pidana terjadi akibat kelalaian terdakwa. Atas perbuatannya, terdakwa dijatuhi pidana penjara selama dua tahun. Pada tingkat banding, putusan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Gorontalo.
Jaksa Penuntut Umum tidak terima dengan vonis tersebut. Bukan hanya soal lamanya masa hukuman yang dinilai tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, tetapi juga penggunaan pasal-pasal untuk menjerat pelaku. Jaksa tetap bersikukuh bahwa perbuatan terdakwa yang mengakibatkan meninggalnya korban dalam kecelakaan lalu lintas adalah kesengajaan sebagaimana diatur dalam Pasal 311 ayat (5) UU LLAJ. Keadaan yang memicu perbedaan pendapat adalah fakta persidangan bahwa sebelum mengemudikan kendaraan tersebut terdakwa dalam keadaan menenggak minuman keras.
Sumber: hukumonline
Source link