Hukum dalam Perspektif Kritis: Kajian terhadap Teori Hukum Kritis (CLS)

Setiap kali kita membicarakan hukum, seolah-olah ada satu asumsi yang sudah diterima begitu saja: hukum itu adil, netral, dan rasional. Namun, dalam perjalanan memahami dunia hukum lebih dalam, saya menemukan bahwa keyakinan semacam itu layaknya permukaan tenang dari danau yang menyimpan riak-riak kegelisahan di bawahnya. Critical Legal Studies (CLS) menjadi satu pintu bagi saya untuk melihat hukum dari kacamata yang berbeda, lebih tajam dan barangkali lebih jujur. CLS mengajarkan bahwa hukum tidaklah sebersih yang selama ini digambarkan. Ia sarat kepentingan, ia dipenuhi bias, dan sering kali menjadi alat legitimasi ketidakadilan yang justru ingin kita lawan.

CLS lahir dari kekecewaan panjang terhadap positivisme hukum dan liberalisme hukum tradisional. Di Amerika Serikat, sekitar tahun 1970-an, para pemikir hukum muda mulai mempertanyakan dogma yang selama ini mengikat mereka. Gerald Lopez, Roberto Unger, hingga Duncan Kennedy, adalah nama-nama yang memilih jalur berbeda: mereka menolak tunduk pada pandangan bahwa hukum itu otonom, bebas nilai, dan berdiri di atas semua kepentingan politik. Bagi CLS, hukum adalah arena politik itu sendiri.

Mereka menyoroti bagaimana hukum telah terlalu lama berdiri di atas retorika rasionalitas tanpa menyentuh akar-akar ketidakadilan sosial. Seperti yang dikatakan oleh Roberto Unger, “Law is not a constraint on politics; law is a form of politics” — hukum bukanlah batasan politik, melainkan wujud dari politik itu sendiri. Kutipan ini begitu sederhana, tetapi menyentuh jantung dari keseluruhan kritik CLS.

Pokok-Pokok Pemikiran Critical Legal Studies

Dalam pandangan CLS, hukum tidak netral. Ia lahir dari sejarah, ekonomi, budaya, dan tentu saja — dari relasi kuasa. Membayangkan hukum sebagai produk murni dari nalar universal adalah ilusi. Saya pun mulai memahami bahwa dalam praktiknya, hukum sering kali digunakan untuk mengukuhkan dominasi kelompok-kelompok tertentu, terutama mereka yang memiliki akses terhadap sumber daya politik dan ekonomi.

Baca Juga:  Penggunaan Ex Aequo et Bono dalam Sengketa Arbitrase

CLS juga memperlihatkan adanya kontradiksi inheren dalam teks-teks hukum. Misalnya, prinsip keadilan substantif bisa saja berbenturan dengan prinsip kepastian hukum. Ini membuat hukum menjadi alat yang fleksibel untuk melegitimasi hampir semua posisi, tergantung siapa yang memegang kekuasaan atas penafsirannya. Pada titik ini, saya merasa hukum lebih menyerupai arena tafsir ketimbang peta objektif menuju keadilan.

Kritik terhadap Institusi Hukum

Institusi hukum — mulai dari pengadilan, legislator, hingga aparat penegak hukum — tidak pernah benar-benar bebas dari bias struktural. CLS menunjukkan bahwa pengadilan tidak hanya menginterpretasikan hukum, tetapi juga memperkuat status quo. Saya tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa banyak keputusan hukum lebih sering melayani kepentingan politik dan ekonomi dominan daripada memperjuangkan suara-suara yang terpinggirkan.

Hak-hak hukum seperti hak kepemilikan dan hak kontrak, yang kerap diagung-agungkan dalam ajaran hukum klasik, dalam kaca mata CLS lebih mirip alat untuk mempertahankan ketimpangan sosial. Hukum dalam pengertian ini bukan pelindung kebebasan, melainkan pagar-pagar yang membatasi ruang gerak kaum lemah.

Konsep Dekonstruksi Hukum

Menyadari bias-bias itu, CLS mendorong apa yang mereka sebut sebagai dekonstruksi hukum. Ini bukan sekadar mengkritik hukum secara teoritis, tetapi benar-benar membongkar asumsi-asumsi dasar yang membuat hukum tampak sakral. CLS mengajak kita untuk mempertanyakan, bahkan membalikkan, struktur dan nilai-nilai yang dianggap mapan dalam dunia hukum.

Dekonstruksi ini memberi saya pemahaman baru bahwa memperjuangkan keadilan tidak selalu berarti memperkuat hukum yang ada, tetapi justru menginterogasi dan merombaknya dari dalam. Di sinilah saya merasa ada kebebasan intelektual yang luar biasa besar dalam pendekatan CLS, meski kadang-kadang juga berisiko membawa kita pada ruang ketidakpastian.

Pengaruh dan Kritik terhadap Critical Legal Studies

Tidak bisa disangkal, CLS telah menginspirasi berbagai gerakan pemikiran hukum progresif, seperti Feminist Legal Theory dan Critical Race Theory. Keduanya mengembangkan ide bahwa pengalaman hukum sangat berbeda tergantung pada ras, gender, dan latar belakang sosial seseorang.

Baca Juga:  Pentingnya Perusahaan Menerapkan ESG Sesuai Standar yang Berlaku

Namun, kritik terhadap CLS juga muncul. Banyak yang menganggap bahwa CLS terlalu nihilistik. Ia membongkar, tetapi tidak menawarkan jalan keluar yang konkret. Ini adalah kritik yang, dalam hati saya, cukup adil. Terkadang dalam membaca literatur CLS, saya merasa seperti berjalan di tengah reruntuhan keyakinan, tanpa peta untuk membangun kembali.

Tetapi mungkin justru di situlah kekuatan CLS: ia mengingatkan bahwa sebelum kita membangun, kita perlu terlebih dahulu meruntuhkan ilusi. Seperti yang diungkapkan oleh Duncan Kennedy, CLS “was a rage against the system disguised as an academic movement” — kemarahan terhadap sistem yang dibungkus dalam wacana akademik.

Relevansi Critical Legal Studies dalam Konteks Indonesia

Melihat realitas hukum di Indonesia, saya menemukan banyak ruang di mana pendekatan CLS terasa sangat relevan. Hukum di negeri ini kadang masih berjarak dari rakyat biasa, lebih ramah terhadap kekuasaan daripada terhadap keadilan sosial. Dari kasus-kasus ketidakadilan agraria, pelanggaran HAM, hingga ketimpangan akses keadilan bagi kelompok marginal, pendekatan kritis terhadap hukum sangat diperlukan.

CLS mengajarkan kepada saya untuk tidak berhenti pada naskah hukum, tetapi menelusuri siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan oleh naskah itu. Dengan cara berpikir seperti ini, hukum menjadi ruang perjuangan, bukan sekadar kumpulan peraturan kaku.

Menulis tentang Critical Legal Studies serasa menuliskan pergulatan batin sendiri: antara idealisme keadilan dan kenyataan bahwa hukum sering kali tidak berpihak. CLS bukan sekadar teori; ia adalah cermin yang memaksa saya menatap wajah hukum — dan mungkin, juga wajah kita sendiri — apa adanya, tanpa topeng. Mungkin bukan solusi langsung yang saya temukan, tetapi keberanian untuk bertanya ulang: siapa yang diuntungkan oleh hukum ini, dan siapa yang tertinggal?

Baca Juga:  Perjanjian Damai Batal, PT Sritex Bangkrut

Dalam pergulatan itu, saya merasa hukum menjadi lebih hidup — dan saya pun menjadi lebih sadar, bahwa memahami hukum berarti memahami perjuangan, ketidakpastian, dan harapan yang tak pernah benar-benar padam.

Picture of U. Andre Baharudin S.Tr.Pi
U. Andre Baharudin S.Tr.Pi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© LBH CADHAS 2024.
All rights reserved.
//
Tim dukungan konsultasi siap menjawab pertanyaan Anda.
👋 Hallo, Silahkan beri tahu apa yang dapat kami bantu?
LBH CADHAS Kami ingin menunjukkan kepada Anda pemberitahuan untuk berita dan pembaruan terkini.
Dismiss
Allow Notifications