Selain permohonan tersebut, kementerian/lembaga yang dituju juga berada pada posisi belum memiliki kompetensi yang dimiliki oleh prajurit aktif bersangkutan.
Pemerintah dan DPR berencana merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) mendapat kritik tajam dari masyarakat sipil. Aspirasi yang disuarakan itu bukan tanpa alasan. Selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, rakyat Indonesia merasakan dampak dari paham militerisme. Reformasi membawa perubahan penting bagi TNI, lahirnya UU TNI mulai mengatur tata kelola pemerintahan dan menempatkan TNI sebagaimana mestinya di negara demokrasi. Salah satu hal yang diatur dalam kebijakan itu adalah penempatan prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil tertentu yang terbatas, tidak sebebas seperti pada masa Orde Baru.
Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Eddy Prasetyono menilai Pasal 47 UU TNI menjadi salah satu ketentuan yang akan direvisi. Saat ini, jabatan sipil yang dapat dijabat oleh prajurit aktif hanya untuk 10 Kementerian/Lembaga. Arah revisi adalah menambah jumlah Kementerian/Lembaga. Substansi yang perlu dijabarkan adalah mengenai jabatan tertentu yang dapat dijabat oleh prajurit TNI.
Tentu saja, untuk menentukan jabatan sipil tertentu yang dapat diduduki oleh prajurit, perlu diatur melalui kebijakan Presiden. Kemudian, ada atau tidaknya jabatan tersebut disesuaikan dengan permintaan Kementerian/Lembaga terkait. TNI tidak mungkin menempatkan prajuritnya secara langsung tanpa adanya permintaan tersebut. “Usulan saya sesuai dengan permintaan Kementerian/Lembaga yang dituju, jadi sudah jelas,” kata Eddy dalam Rapat Dengar Pendapat tentang RUU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kamis (13/07/2024).
Baca juga:
Selain syarat adanya permintaan dari Kementerian/Lembaga tujuan, Eddy juga mengusulkan agar penempatan prajurit aktif pada jabatan sipil dilakukan dalam konteks tidak adanya kompetensi di instansi tujuan. Kementerian/Lembaga yang memiliki kompetensi tidak perlu meminta penempatan prajurit aktif. Selanjutnya, penempatan tersebut tidak boleh mengurangi kapabilitas TNI, karena dalam pembinaan prajurit ke jenjang tertinggi dibutuhkan sumber daya yang besar. Maka perlu diperhatikan apakah penempatan prajurit dimaksud akan mempengaruhi kapabilitas TNI atau tidak. “Kalau tidak mengurangi kapabilitas TNI, dan kemudian ada permintaan dari Kementerian/Lembaga tujuan, ya silakan ditempatkan,” jelasnya.
Terakhir, ketika Kementerian/Lembaga sudah memiliki kompetensi sesuai kebutuhan, prajurit aktif yang sebelumnya ditempatkan dikembalikan ke institusi TNI. “Jika Kementerian/Lembaga sudah memiliki kompetensi, kemudian institusi tidak membutuhkan kompetensi dari orang lain, maka penempatan TNI di institusi tersebut tidak diperlukan lagi dan harus diakhiri,” katanya.
Terkait tugas pokok TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 7, Eddy mengatakan semangat ketentuan tersebut adalah menegakkan demokrasi. Oleh karena itu, perlu ditegaskan siapa yang memiliki kewenangan politik dan operasional. Panglima TNI tidak memiliki keputusan politik. Untuk melaksanakan operasi militer, diperlukan keputusan politik kecuali dalam hal penanganan bencana alam. Ke depannya, perlu diatur bentuk keputusan politik dan jenjangnya sesuai dengan operasi yang dibutuhkan.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, mengatakan, Pasal 7 tidak menjelaskan tugas pokok TNI berupa operasi militer untuk perang. Sementara itu, operasi militer selain perang dijabarkan lebih rinci, termasuk syarat kebijakan dan keputusan politik negara. Menurutnya, perlu dikaji ulang relevansi “kebijakan dan keputusan politik” negara tersebut karena Operasi Militer untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sama-sama memerlukan persetujuan. Daripada sibuk melihat apakah suatu tugas yang dilaksanakan TNI masuk kategori OMP atau OMSP, lebih baik aturan ini diubah. Keputusan ini tetap diperlukan, tetapi perlu diatur apakah hanya Presiden bersama DPR atau Presiden melimpahkannya kepada Menteri Pertahanan.
Perlu diketahui bahwa tugas TNI ke depan bukan hanya menjaga kedaulatan, tetapi juga kepentingan nasional. Misalnya dalam penanganan kapal yang dibajak karena TNI memiliki kemampuan untuk menjangkau lokasi tersebut. Kemudian peran TNI adalah melaksanakan tugas-tugas lainnya sebagaimana diperintahkan oleh penyelenggara negara. Namun hal tersebut tetap harus berdasarkan keputusan politik yang tidak dikeluarkan sendiri oleh Presiden, melainkan bersama DPR, namun proses birokrasinya tidak boleh berbelit-belit.
Terkait TNI sebagai penegak hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 10 tentang tugas TNI AL dan TNI AU, Prof. Hikmahanto mengusulkan agar diatur lebih lanjut apakah kewenangannya meliputi penyidikan atau diserahkan kepada kepolisian atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Anggaran yang memadai juga perlu disiapkan untuk melaksanakan proses penegakan hukum di wilayah laut dan udara. “Maka hal ini perlu diperhatikan dalam revisi UU 34/2004,” imbuhnya.
Sumber: hukumonline
Source link