Dalam sistem hukum pidana Indonesia, tidak semua tindak pidana dapat langsung diproses oleh aparat penegak hukum. Ada jenis-jenis tindak pidana yang membutuhkan pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan sebelum bisa ditindaklanjuti. Di sisi lain, ada pula tindak pidana yang bisa langsung diproses tanpa perlu laporan dari korban. Perbedaan inilah yang dikenal sebagai delik aduan dan delik biasa.
Meskipun pembagian ini terdengar sederhana, pada praktiknya masih banyak masyarakat yang belum memahami implikasi dari kedua jenis delik ini. Banyak yang mengira bahwa setiap tindak pidana bisa langsung diproses oleh kepolisian, sementara ada pula yang tidak sadar bahwa ada beberapa tindak pidana yang sebenarnya hanya bisa diproses jika korban melapor. Pemahaman mengenai perbedaan ini menjadi penting, terutama bagi kita yang ingin melihat bagaimana hukum bekerja dalam melindungi hak-hak individu sekaligus menjaga ketertiban sosial.
Delik aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat diproses apabila ada laporan atau pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan atau korban langsung. Dengan kata lain, tanpa adanya pengaduan, aparat penegak hukum tidak memiliki wewenang untuk memproses perkara tersebut. Sifat dari delik aduan ini biasanya berkaitan dengan kepentingan pribadi korban, di mana hukum memberikan kesempatan kepada individu untuk menentukan apakah ingin memperkarakan pelanggaran yang dialaminya atau tidak.
Sebagai contoh, Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik merupakan delik aduan. Jika seseorang merasa nama baiknya dicemarkan, maka ia harus mengajukan pengaduan kepada pihak berwajib agar kasusnya bisa ditindaklanjuti. Jika korban tidak melapor, maka pelaku tidak bisa diproses secara hukum.
Di sisi lain, delik biasa adalah tindak pidana yang bisa langsung diproses oleh aparat penegak hukum tanpa perlu adanya pengaduan dari korban. Artinya, begitu ada perbuatan pidana yang terjadi dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana dalam KUHP, maka pihak berwenang dapat langsung melakukan penyelidikan dan penindakan.
Contohnya adalah tindak pidana pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dan pencurian (Pasal 362 KUHP). Dalam kasus ini, meskipun korban atau keluarganya tidak melapor, polisi tetap dapat bertindak untuk menyelidiki dan menuntut pelaku demi menegakkan hukum dan menjaga ketertiban umum.
Perbedaan utama antara delik aduan dan delik biasa terletak pada syarat pemrosesan hukumnya. Delik aduan memerlukan pengaduan dari korban, sementara delik biasa bisa diproses tanpa perlu ada pengaduan.
Selain itu, dalam delik aduan, korban memiliki hak untuk mencabut laporannya sebelum perkara masuk ke tahap persidangan. Hal ini berbeda dengan delik biasa yang tidak bisa dihentikan hanya karena korban atau pihak yang merasa dirugikan mencabut pengaduannya. Begitu perkara masuk ke dalam sistem peradilan pidana, maka proses hukum akan tetap berjalan hingga ada putusan pengadilan.
Secara esensial, delik aduan lebih menekankan aspek perlindungan individu, sementara delik biasa lebih berfokus pada penegakan ketertiban umum dan kepentingan negara.
Contoh Kasus Delik Aduan dan Delik Biasa dalam Praktik Hukum
Untuk memahami lebih jauh, mari kita lihat beberapa kasus nyata yang berkaitan dengan delik aduan dan delik biasa.
– Kasus Pencemaran Nama Baik (Delik Aduan)
Seorang tokoh masyarakat merasa dirugikan karena pernyataan seseorang di media sosial yang dianggap mencemarkan nama baiknya. Karena ini adalah delik aduan, aparat penegak hukum tidak bisa bertindak jika tokoh tersebut tidak melapor. Jika ia memilih untuk tidak membawa kasus ini ke ranah hukum, maka tidak ada tindakan lebih lanjut dari pihak kepolisian.
– Kasus Pembunuhan (Delik Biasa)
Sebuah kasus pembunuhan terjadi di sebuah kota kecil, dan polisi langsung melakukan penyelidikan meskipun keluarga korban tidak mengajukan laporan. Aparat berwenang bertindak atas dasar kepentingan umum, karena pembunuhan adalah tindak pidana yang mengancam ketertiban dan keselamatan masyarakat.
Dalam beberapa kasus, ada pula tindak pidana yang awalnya merupakan delik biasa tetapi dalam keadaan tertentu bisa menjadi delik aduan. Misalnya, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Tindak pidana ini bisa menjadi delik aduan jika korbannya adalah pasangan atau anggota keluarga, tetapi bisa juga menjadi delik biasa jika menyangkut kekerasan berat yang membahayakan nyawa korban.
Dalam praktiknya, penanganan delik aduan dan delik biasa memiliki perbedaan prosedural. Untuk delik aduan, proses hukum hanya bisa berjalan jika korban atau pihak yang berhak mengadu mengajukan laporan kepada kepolisian atau kejaksaan. Laporan ini harus dibuat dalam batas waktu tertentu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Jika korban memilih untuk mencabut pengaduan sebelum kasus masuk ke pengadilan, maka perkara bisa dihentikan.
Sebaliknya, dalam delik biasa, proses hukum tetap berjalan tanpa tergantung pada keinginan korban. Aparat penegak hukum memiliki kewajiban untuk menindaklanjuti perkara hingga ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Menurut Prof. Moeljatno, seorang ahli hukum pidana Indonesia, “Hukum pidana tidak semata-mata bertujuan untuk menghukum, tetapi juga untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.” Hal ini menjelaskan mengapa ada pembagian antara delik aduan dan delik biasa dalam hukum pidana kita.
Memahami perbedaan antara delik aduan dan delik biasa sangat penting bagi masyarakat agar tidak salah kaprah dalam melihat bagaimana hukum bekerja. Delik aduan memberikan hak kepada korban untuk menentukan apakah suatu perkara harus dibawa ke ranah hukum atau tidak, sementara delik biasa menegaskan bahwa ada tindak pidana yang harus ditindaklanjuti tanpa perlu menunggu laporan.
Kedua jenis delik ini menunjukkan bagaimana hukum berusaha menyeimbangkan antara hak individu dan kepentingan umum. Dengan pemahaman yang baik, kita bisa lebih bijak dalam menyikapi permasalahan hukum yang ada di sekitar kita dan memahami bahwa tidak semua perkara dapat diperlakukan sama dalam sistem peradilan pidana.