Bisakah UU TNI Dibatalkan?

Pada Kamis, 20 Maret 2025, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi undang-undang. Keputusan ini diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh sejumlah menteri, bertempat di ruang Paripurna gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat. Rapat tersebut dipimpin oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani, didampingi oleh Wakil Ketua DPR lainnya, seperti Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Adies Kadir.

Pengesahan revisi UU TNI ini menimbulkan polemik di masyarakat. Sebagian pihak menyambutnya sebagai langkah maju dalam reformasi militer, sementara yang lain mengkhawatirkan potensi kembalinya peran militer dalam urusan sipil. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah undang-undang yang baru disahkan ini dapat dibatalkan?

Dalam sistem hukum Indonesia, terdapat beberapa mekanisme yang memungkinkan pembatalan atau perubahan suatu undang-undang. Berikut adalah beberapa di antaranya:

  1. Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi (MK)

Salah satu mekanisme utama untuk menguji konstitusionalitas suatu undang-undang adalah melalui uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi. Jika ada pihak yang merasa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan akibat diberlakukannya suatu undang-undang, mereka dapat mengajukan permohonan uji materi ke MK. Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan ini meliputi perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Jika MK memutuskan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, maka undang-undang tersebut dapat dibatalkan.

  1. Revisi atau Pencabutan oleh DPR dan Presiden

Selain melalui MK, undang-undang yang telah disahkan dapat diubah atau dicabut melalui proses legislasi oleh DPR dan Presiden. Proses ini melibatkan pembahasan dan persetujuan bersama antara legislatif dan eksekutif. Dalam hal ini, DPR bersama Presiden merupakan lembaga negara yang berwenang mencabut undang-undang. Jika terdapat kesepakatan bahwa suatu undang-undang perlu direvisi atau dicabut, maka proses legislasi akan dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku.

  1. Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh Presiden
Baca Juga:  Melindungi Ciptaan Berhak Cipta dan Penegakan Hukum di Pengadilan Niaga

Dalam keadaan genting dan memaksa, Presiden memiliki kewenangan untuk menerbitkan Perppu sebagai pengganti undang-undang. Namun, Perppu ini harus mendapatkan persetujuan dari DPR dalam sidang berikutnya. Jika DPR menolak, maka Perppu tersebut harus dicabut.

Meskipun mekanisme pembatalan atau perubahan undang-undang tersedia, prosesnya tidaklah sederhana. Setiap mekanisme memiliki tantangan tersendiri. Misalnya, untuk uji materi di MK, pemohon harus dapat membuktikan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi. Proses ini memerlukan argumentasi hukum yang kuat dan bukti yang mendukung.

Sementara itu, proses legislasi untuk revisi atau pencabutan undang-undang memerlukan konsensus politik antara DPR dan Presiden. Dalam praktiknya, mencapai konsensus ini seringkali tidak mudah, terutama jika undang-undang tersebut melibatkan kepentingan berbagai pihak.

Penerbitan Perppu oleh Presiden juga bukan tanpa kontroversi. Meskipun Presiden memiliki kewenangan untuk menerbitkan Perppu dalam keadaan genting, definisi “keadaan genting” itu sendiri sering menjadi perdebatan. Selain itu, Perppu harus mendapatkan persetujuan dari DPR, yang berarti masih ada kemungkinan penolakan.

Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa mekanisme pembatalan undang-undang di Indonesia masih perlu diperkuat. Misalnya, dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh Hukumonline, disebutkan bahwa kewenangan pencabutan undang-undang ada pada DPR dan Presiden. Selain itu, dalam konteks uji materi, ada tantangan dalam membuktikan bahwa suatu undang-undang benar-benar bertentangan dengan konstitusi.

Meskipun undang-undang yang telah disahkan dapat dibatalkan atau diubah melalui mekanisme yang tersedia, prosesnya tidaklah mudah dan memerlukan upaya serta bukti yang kuat. Dalam konteks revisi UU TNI, kekhawatiran masyarakat terhadap potensi kembalinya peran militer dalam urusan sipil harus ditanggapi dengan serius. Penting bagi semua pihak untuk terus mengawal implementasi undang-undang ini dan memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi serta supremasi sipil tetap terjaga.

Baca Juga:  Perhatian dan akuisisi perusahaan kebangkrutan
Picture of U. Andre Baharudin S.Tr.Pi
U. Andre Baharudin S.Tr.Pi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© LBH CADHAS 2024.
All rights reserved.
//
Tim dukungan konsultasi siap menjawab pertanyaan Anda.
👋 Hallo, Silahkan beri tahu apa yang dapat kami bantu?
LBH CADHAS Kami ingin menunjukkan kepada Anda pemberitahuan untuk berita dan pembaruan terkini.
Dismiss
Allow Notifications