Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981belum mengalami nasib yang sama dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sudah berkali-kali masuk dalam Program Legislasi Nasional, proses pembahasan RUU KUHAP masih tersendat-sendat. Padahal, banyak alasan yang melatarbelakangi pentingnya mengubah hukum acara pidana saat ini, paling tidak untuk menyesuaikannya dengan KUHP yang baru.
Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM, Sugeng Purnomo, juga menyoroti urgensi perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Perubahan paradigma aparat penegak hukum terkait jumlah perkara yang ditangani perlu segera diubah. Selama ini, 'prestasi' aparat penegak hukum kerap diukur dari berapa banyak perkara yang ditangani. Apalagi jika ada pandangan bahwa semua perkara pidana harus berakhir di pengadilan. Paradigma inilah yang akhirnya berdampak pada meledaknya angka perkara (kelebihan populasi) penghuni lembaga pemasyarakatan dan lembaga pemasyarakatan (Lapas).
Kini, kata Sugeng, paradigma harus diubah, semakin rendah angka kejahatan semakin baik. Dengan demikian, tidak semua kasus harus berakhir di pengadilan dan hukuman penjara. Kasus-kasus kecil perlu diselesaikan melalui mekanisme restorative justice. Penangkapan yang salah sasaran harus dihentikan, seraya menegaskan bahwa penangkapan dan penahanan tidak boleh dilakukan secara asal-asalan. Apalagi jika dilakukan dengan motif mengada-ada kasus agar terkesan berhasil.
Sugeng mengkritik sikap penegak hukum yang sangat kaku dalam menerapkan konsep diferensiasi fungsional. Jika seorang penegak hukum sudah melaksanakan tugasnya dan menyerahkan berkas kepada penegak hukum lain, maka seolah-olah tugasnya sudah selesai. “Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kita ada diferensiasi fungsional. Penyidik ​​ya penyidik, jaksa ya jaksa. Tidak boleh masuk di antara dua ruangan ini,” tegasnya dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu.
Sumber: hukumonline
Source link