Institusi penegak hukum berada di posisi strategis dalam struktur negara hukum. Keberadaannya ditujukan untuk memastikan hukum ditegakkan secara adil, objektif, dan tanpa diskriminasi. Namun, dalam praktiknya, ironi sering kali muncul ketika lembaga yang diberi mandat untuk menegakkan hukum justru terlibat dalam pelanggaran hukum itu sendiri. Fenomena ini menimbulkan apa yang bisa disebut sebagai “paradoks penegakan hukum” sebuah situasi ketika institusi yang semestinya menjadi solusi justru menjadi bagian dari masalah. Di Indonesia, paradoks ini terwujud dalam bentuk keterlibatan aparatur penegak hukum dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Penegakan hukum merupakan bagian dari pelaksanaan sistem hukum nasional yang melibatkan tiga pilar utama: kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan. Ketiganya berfungsi sebagai pelaksana norma hukum, pelindung hak warga negara, dan pengontrol kekuasaan agar tidak melampaui batasnya. Dalam kerangka negara hukum, penegakan hukum tak hanya bersifat represif, melainkan juga preventif dan edukatif. Menurut Satjipto Rahardjo, hukum semestinya tidak berhenti pada teks, tetapi hidup dalam realitas sosial, yang berarti penegaknya harus menjadi teladan integritas dan keadilan.
Berbagai laporan dan kajian empiris menunjukkan bahwa KKN bukan lagi hal insidental di institusi penegak hukum, melainkan fenomena yang bersifat struktural. Transparansi International Indonesia, dalam survei Global Corruption Barometer, menempatkan kepolisian dan lembaga peradilan sebagai dua institusi paling rentan terhadap korupsi di Indonesia. Suap dalam proses penyidikan, kolusi dalam penuntutan, dan nepotisme dalam pengangkatan pejabat lembaga hukum menjadi bagian dari praktik yang mencoreng marwah institusi tersebut. Tidak jarang pula ditemui relasi antara aparat hukum dan kelompok kejahatan terorganisir, yang berujung pada kriminalisasi warga atau impunitas terhadap pelaku kejahatan berdasi.
Paradoks menjadi nyata ketika institusi yang diberi tugas menegakkan hukum justru terlibat dalam pelanggaran nilai-nilai hukum itu sendiri. Di satu sisi, institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dirancang sebagai pelawan utama korupsi, namun di sisi lain, berbagai upaya pelemahan terhadap KPK justru dilakukan melalui instrumen hukum oleh lembaga legislatif dan eksekutif. Hal ini menandakan bahwa paradoks tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga politis. Ketika lembaga yang mestinya mengontrol kekuasaan malah tunduk atau bersekongkol dengan kekuasaan, maka keadilan menjadi barang mewah yang sulit diakses publik.
Untuk memahami akar dari paradoks ini, perlu dilihat lebih dalam pada budaya hukum dan struktur kekuasaan. Budaya hukum yang patrimonial, di mana loyalitas terhadap atasan lebih diutamakan dibanding integritas, melanggengkan praktik KKN dalam institusi hukum. Selain itu, ketergantungan institusi penegak hukum terhadap kekuasaan politik menjadikan independensi mereka semu. Menurut Daniel S. Lev, dalam konteks Indonesia, hukum sering kali menjadi alat kekuasaan, bukan alat pembebasan. Dalam kerangka ini, reformasi struktural tidak cukup jika tidak disertai dengan transformasi nilai dan etika di dalam institusi hukum itu sendiri.
Langkah menuju perbaikan tidak selalu memerlukan gebrakan besar, tetapi membutuhkan keberanian untuk membangun akuntabilitas dari dalam tubuh institusi hukum. Transparansi dalam proses perekrutan, promosi berbasis meritokrasi, serta penguatan sistem kontrol internal yang independen menjadi elemen-elemen penting dalam reformasi kelembagaan. Peran masyarakat sipil, pers, dan lembaga pengawas eksternal juga tetap relevan untuk menjaga agar lembaga hukum tidak berjalan tanpa kontrol publik.
Pemulihan kepercayaan publik terhadap sistem hukum tidak mungkin terwujud tanpa keteladanan. Keteladanan ini tidak dapat dimandatkan lewat peraturan, melainkan lahir dari kesadaran moral para penegak hukum bahwa mereka tidak sedang menjalankan profesi semata, tetapi tanggung jawab konstitusional.
Paradoks dalam penegakan hukum di Indonesia adalah cerminan dari pergeseran fungsi institusi hukum dari pengayom keadilan menjadi alat kepentingan. Situasi ini tidak hanya melemahkan efektivitas hukum, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap negara. Dalam lanskap demokrasi, keberadaan institusi penegak hukum yang bersih dan independen merupakan pondasi utama untuk menjaga supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Mewujudkan hal tersebut memerlukan kerja simultan dari semua pihak—negara, lembaga hukum, dan masyarakat.







