Masalah rangkap jabatan terjadi akibat rendahnya komitmen pemerintah untuk menghindari konflik kepentingan dalam jabatan publik.
Ada beragam nama menteri yang juga merupakan pimpinan partai politik di kabinet Presiden Joko Widodo. Sebut saja nama Prabowo Subianto (Ketua Umum Partai Gerindra), Zulkifli Hasan (Ketua Umum Partai PAN), dan Bahlil Lahadalia (Ketua Umum Partai Golkar). Fenomena rangkap jabatan dalam praktiknya memang bukan hal baru.
Pakar Hukum Tata Negara (HTN), Feri Amsari, mengatakan menteri yang merangkap jabatan sebagai pimpinan parpol dinilai berisiko mengalami benturan kepentingan. Menurutnya, jabatan yang dibiayai negara harus profesional. Tidak boleh ada intervensi kepentingan dari pihak luar dalam jabatan menteri.
“Ini bukan sistem parlementer, tidak perlu ketua umum partai masuk kabinet. Karena ini sistem presidensial yang memisahkan majelis rendah dan majelis rendah. Tidak perlu ketua umum partai merangkap jabatan sebagai menteri,” kata Feri, Rabu (11/9/2024).
Baca juga:
Lalu bagaimana undang-undang mengatur larangan menteri merangkap jabatan sebagai pimpinan partai politik?
Di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme mengamanatkan menteri sebagai pejabat negara untuk menghindari benturan kepentingan dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini tercantum dalam Pasal 5.
“Kalau baca UU 28/1999, menteri dilarang merangkap jabatan, karena menteri adalah pelayan masyarakat. Dalam sistem presidensial yang dipopulerkan Presiden Filipina dan dipakai Presiden Amerika saat ada kunjungan ke negara, kewajiban kepada partai harus dihilangkan,” tegas Feri.
Sumber: hukumonline
Source link