Nasinya sudah menjadi bubur. Ini adalah pepatah yang sangat cocok dengan konteks penyelenggaraan lembaga perlindungan data pribadi di bawah Presiden. Bahkan, sejumlah kajian akademis mengharuskan lembaga ini independen. Pertanyaan yang muncul dalam forum akademik adalah apakah benar lembaga perlindungan data pribadi yang berada di bawah Presiden bisa benar-benar independen?
Pasal 58 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU Perlindungan Data Pribadi) mengamanatkan bahwa kedudukan lembaga perlindungan data pribadi ditentukan oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Amanat hukum ini menarik mengingat banyaknya lembaga serupa di negara rujukan Indonesia. Misalnya, Uni Eropa secara tegas membentuk badan perlindungan data pribadi yang kedudukannya independen dan tidak berada di bawah Presiden atau berada dalam lingkaran kekuasaan eksekutif. UE Dewan Perlindungan Data terdiri dari berbagai perwakilan dari otoritas perlindungan data nasional negara-negara UE/EEA Dan Pengawas Perlindungan Data UE. (Lihat: penjelasan tentang Dewan Perlindungan Data Eropa).
Persoalan ini juga menjadi perhatian Guru Besar Hukum Siber Universitas Padjadjaran, Sinta Dewi Rosadi. Sinta menyayangkan pendekatan Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) yang dipilih Indonesia untuk UU Perlindungan Data Pribadi dibarengi dengan independensi lembaga perlindungan data pribadi yang dipertanyakan.
Sinta bahkan pesimis dengan rumusan Pasal 58 UU Perlindungan Data Pribadi karena tidak memenuhi kriteria lembaga perlindungan data pribadi yang secara teori independen. “Tapi sekarang kita tidak bisa memilih, karena sudah ditentukan kita akan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden,” kata Sinta dalam paparannya di seminar publik.
Sumber: hukumonline
Source link