Jual Beli Properti dalam Perspektif Pasal 1457 KUH Perdata

Transaksi jual beli properti bukanlah sekadar pertukaran antara uang dan barang. Ia adalah sebuah perjanjian hukum yang mengikat kedua belah pihak—penjual dan pembeli—dengan segala hak serta kewajibannya. Dalam hukum perdata Indonesia, konsep jual beli diatur secara eksplisit dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pasal ini mendefinisikan jual beli sebagai “suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.

Jika kita telaah lebih dalam, pengaturan ini tampak sederhana di permukaan. Namun, dalam praktiknya, transaksi jual beli properti kerap kali menjadi sumber sengketa yang tidak jarang berujung ke meja hijau. Masalah bisa timbul dari aspek administratif, legalitas kepemilikan, bahkan hingga wanprestasi dari salah satu pihak. Oleh karena itu, memahami seluk-beluk jual beli properti berdasarkan Pasal 1457 KUH Perdata bukan hanya sekadar kebutuhan, tetapi juga menjadi langkah preventif agar tidak terjebak dalam masalah hukum di kemudian hari.

Pasal 1457 KUH Perdata menetapkan dua unsur utama dalam jual beli: barang yang diperjualbelikan dan harga yang disepakati. Dalam konteks properti, barang yang dimaksud bisa berupa tanah, rumah, apartemen, atau bentuk properti lainnya. Sementara itu, harga harus disepakati kedua belah pihak dan umumnya dicantumkan dalam perjanjian tertulis.

Dalam sistem hukum Indonesia, jual beli properti tidak cukup hanya dengan kesepakatan lisan atau tertulis antara kedua belah pihak. Karena properti merupakan aset bernilai tinggi, negara mengatur transaksi ini dengan ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan atau sengketa di kemudian hari. Maka dari itu, jual beli properti harus melalui prosedur hukum yang jelas, termasuk pencatatan resmi dan pembuatan akta jual beli di hadapan pejabat berwenang.

Baca Juga:  Koreksi RUU Kepolisian Nasional tentang Status Teritorial Kedutaan Besar Republik Indonesia di Luar Negeri

Seperti yang dikemukakan oleh R. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian, “Perjanjian jual beli tidak hanya melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak, tetapi juga memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan di masa mendatang.” Oleh sebab itu, pemenuhan aspek legal dalam jual beli properti menjadi hal yang mutlak dilakukan.

Dalam jual beli properti, ada beberapa tahapan penting yang harus dilalui agar transaksi memiliki kekuatan hukum yang sah, antara lain:

  1. Kesepakatan Harga dan Syarat

Sebelum transaksi dilakukan, pihak penjual dan pembeli harus sepakat mengenai harga, metode pembayaran, serta persyaratan lain seperti biaya balik nama atau pajak yang ditanggung masing-masing pihak.

  1. Pengecekan Legalitas Properti

Pembeli wajib memastikan bahwa properti yang akan dibeli memiliki sertifikat kepemilikan yang sah, tidak dalam status sengketa, serta tidak dijadikan jaminan dalam perjanjian kredit di bank. Pengecekan ini bisa dilakukan melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN).

  1. Pembuatan Akta Jual Beli (AJB)

Transaksi jual beli properti harus dituangkan dalam Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akta ini menjadi bukti sah adanya peralihan hak atas tanah atau bangunan dari penjual ke pembeli.

  1. Pembayaran Pajak dan Biaya Lainnya

Baik penjual maupun pembeli memiliki kewajiban membayar pajak yang timbul dari transaksi ini, seperti Pajak Penghasilan (PPh) dari pihak penjual dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari pihak pembeli.

  1. Balik Nama Sertifikat

Setelah semua kewajiban terpenuhi, sertifikat hak milik atas properti tersebut harus dibalik nama ke nama pembeli di Kantor Pertanahan setempat. Langkah ini memastikan bahwa pembeli sah sebagai pemilik properti yang baru.

Dalam transaksi jual beli properti, ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak.

Baca Juga:  Membedah Pasal 1320 KUH Perdata: Syarat Sah Perjanjian dalam Sengketa Kontrak

– Hak dan Kewajiban Penjual:

– Wajib menyerahkan properti dalam kondisi sesuai perjanjian.

– Berhak menerima pembayaran sesuai kesepakatan.

– Bertanggung jawab atas cacat tersembunyi dalam properti jika ditemukan setelah transaksi.

– Hak dan Kewajiban Pembeli:

– Wajib membayar harga properti sesuai kesepakatan.

– Berhak mendapatkan properti dalam kondisi yang telah disepakati.

– Wajib mengurus administrasi dan pajak yang menjadi tanggung jawabnya.

Keseimbangan hak dan kewajiban ini merupakan fondasi agar transaksi berjalan adil dan tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari.

Meski sudah mengikuti prosedur yang benar, jual beli properti tetap memiliki potensi menimbulkan sengketa. Beberapa permasalahan yang sering muncul antara lain:

Wanprestasi, misalnya penjual tidak menyerahkan properti tepat waktu atau pembeli tidak melunasi pembayaran sesuai jadwal.

Cacat hukum dalam kepemilikan, misalnya properti ternyata berada dalam sengketa atau tidak memiliki sertifikat yang sah.

– Cacat fisik pada properti yang tidak diinformasikan sebelumnya oleh penjual.

Dalam menghadapi sengketa, penyelesaian bisa dilakukan melalui negosiasi, mediasi, atau jalur hukum perdata jika tidak ada titik temu. Seperti yang diungkapkan oleh Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia, “Hukum memberikan mekanisme penyelesaian sengketa yang adil, tetapi penyelesaian terbaik tetaplah yang mengutamakan musyawarah.” Oleh karena itu, komunikasi dan transparansi antara penjual serta pembeli menjadi kunci utama dalam menghindari perselisihan.

Jual beli properti bukan hanya soal transaksi ekonomi, tetapi juga proses hukum yang kompleks. Pasal 1457 KUH Perdata memberikan dasar hukum yang jelas bahwa jual beli adalah perjanjian yang mengikat dua belah pihak dengan hak dan kewajiban masing-masing. Namun, agar transaksi ini sah dan menghindari risiko hukum, pemenuhan prosedur legal menjadi hal yang sangat penting.

Baca Juga:  Potensi Kerugian Lingkungan sebagai Kerugian Ekonomi bagi Negara

Menyadari berbagai aspek hukum dalam jual beli properti bukan hanya akan melindungi hak kita sebagai pembeli atau penjual, tetapi juga memastikan bahwa transaksi tersebut memiliki kepastian hukum yang kuat. Dengan begitu, jual beli properti bisa berjalan dengan lancar, adil, dan menguntungkan kedua belah pihak tanpa meninggalkan potensi sengketa di kemudian hari.

Picture of U. Andre Baharudin S.Tr.Pi
U. Andre Baharudin S.Tr.Pi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© LBH CADHAS 2024.
All rights reserved.
//
Tim dukungan konsultasi siap menjawab pertanyaan Anda.
👋 Hallo, Silahkan beri tahu apa yang dapat kami bantu?
LBH CADHAS Kami ingin menunjukkan kepada Anda pemberitahuan untuk berita dan pembaruan terkini.
Dismiss
Allow Notifications