Perlu adanya reformasi regulasi mengenai profesi advokat yang dapat menyeimbangkan perlindungan hukum bagi advokat dan kepentingan masyarakat.
Sebagai profesi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan penegakan hukum, advokat mempunyai peran yang sangat penting dalam sistem peradilan. Advokat bertugas membela kliennya dengan sepenuh hati dan tanpa diskriminasi. Namun keberadaan profesi advokat di Indonesia mengalami tantangan besar sejak dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 006/PUU-II/2004. Putusan ini menyatakan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat mengenai ancaman pidana dan denda bagi advokat palsu, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945 khususnya jaminan hak asasi manusia dan asas legalitas dalam hukum pidana.
Keputusan MK ini menjadikan UU Advokat ibarat “tentara tanpa senjata”. Akibat putusan tersebut, norma hukum mengenai ancaman pidana dan denda terhadap advokat palsu hilang. Keadaan ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana bisa UU Advokat yang menjadi landasan hukum bagi profesi penegak hukum yakni advokat tidak dilengkapi dengan “senjata”. Salah satu dampak langsung dari dicabutnya Pasal 31 UU Advokat sebagai pasal yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah munculnya advokat abal-abal.
Baca Juga:
Utopia merupakan Forum Tunggal Organisasi Profesi Advokat Indonesia
Polemik Multibar dan Single Bar, UU Advokat Harus Segera Diperbarui
Sebab, sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-II/2004, advokat palsu bisa diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 yang memberikan efek jera. (efek pencegahan) dan memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat serta meningkatkan kepercayaan terhadap profesi advokat. Namun pasca keputusan tersebut, orang-orang yang mengaku sebagai advokat, meski belum pernah melalui proses perekrutan advokat, bahkan bukan lulusan pendidikan tinggi di bidang hukum, tidak diancam dengan hukuman pidana atau denda yang dapat dikenakan. dampak hukum yang tegas.
Keberadaan advokat palsu menjadi persoalan serius dalam proses penegakan hukum. Diaturan tegas, hanya orang yang menempuh pendidikan khusus profesi advokat (PKPA), lulus ujian profesi advokat (UPA), menjalani magang, kemudian diangkat menjadi advokat oleh Organisasi Advokat yang berwenang. Kemudian bersumpah menurut agama atau janjinya dengan khidmat dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya. Kenyataan di lapangan menunjukkan masih banyak oknum yang tidak memenuhi syarat tersebut, namun menjalankan profesi advokat tanpa ancaman pidana yang tegas, pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab bisa lebih leluasa melakukan praktik ilegal dengan mengaku sebagai advokat.
Fenomena ini semakin memperburuk citra profesi advokat di mata masyarakat. Mengingat banyak masyarakat yang tertipu oleh oknum yang mengaku sebagai advokat, namun tidak memiliki kualifikasi sesuai UU Advokat. Dalam banyak kasus, advokat palsu ini seringkali menawarkan layanan hukum dengan biaya yang jauh lebih tinggi, namun kualitas dan integritas layanan hukum yang mereka berikan sangat dipertanyakan. Dampaknya, kepercayaan masyarakat terhadap profesi advokat semakin menurun.
Untuk memahami dampak Pasal 31 UU Advokat yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kita dapat mengaitkannya dengan konsep. Pria suci disampaikan oleh Giorgio Agamben dalam bukunya Homo Sacer: Kekuasaan Berdaulat dan Kehidupan Telanjang, mengembangkan konsep ini yang menggambarkan individu-individu di luar perlindungan hukum, yang statusnya dianggap sebagai “biaya” atau “kerugian” dalam sistem hukum. Seorang pria suci adalah seseorang yang tidak dapat dilindungi oleh hukum atau norma sosial. Dengan begitu, ia tidak punya akses untuk menuntut haknya di masyarakat.
Sumber: hukumonline
Source link