Hukum perkawinan Indonesia telah mengenal perjanjian perkawinan sejak KUHPerdata. Istilah yang digunakan adalah perjanjian pranikah yang diterjemahkan oleh Ketua Mahkamah Agung R. Subekti sebagai kesepakatan dalam pernikahan. Istilah ini terdapat dalam KUHPerdata Bab VII dan VIII Pasal 139-185. Dikatakan pernikahan berarti 'perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita' sedangkan kondisi berarti 'persyaratan' (Martias Gelar Imam Radjo Mulono, Penjelasan Istilah Hukum Indonesia Belanda1982 : 107).
Perjanjian perkawinan kemudian diatur kembali dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa suami istri dapat membuat perjanjian perkawinan secara tertulis yang kemudian disahkan oleh pencatat perkawinan. Perjanjian perkawinan ini juga akan berlaku bagi pihak ketiga apabila berkaitan dengan isi perjanjian.
Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU–XII/2015, istilah perjanjian perkawinan lebih dikenal dengan perjanjian pranikah. Alasannya karena perjanjian perkawinan terlebih dahulu harus dibuat sebelum ikatan perkawinan tercipta. Putusan Mahkamah Konstitusi “melonggarkan” prosedur sehingga tidak lagi berarti perjanjian yang dilakukan sebelum perkawinan (perjanjian pranikah), namun bisa juga dilakukan pada saat menikah.
Ketua Lembaga Pengkajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKIHI FHUI), Heru Susetyo pernah mengatakan, di satu sisi, putusan MK merupakan buah pemikiran yang maju. Hakim mengikuti perkembangan hukum, sosial dan budaya. Pemikiran yang dituangkan dalam keputusan tersebut baik untuk melindungi hak dan kepentingan para pihak yang melangsungkan perkawinan. Nilai plusnya adalah adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pasangan yang menjalin hubungan.
Sumber: hukumonline
Source link