Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita mendengar seseorang berkata, “Saya tidak tahu kalau ada aturan seperti itu.” Kalimat ini bisa muncul dalam berbagai situasi, mulai dari pelanggaran lalu lintas hingga kasus hukum yang lebih kompleks. Namun, dalam prinsip hukum, ada satu asas yang tegas: Ignorantia Juris Non Excusat, yang berarti ketidaktahuan terhadap hukum tidak dapat dijadikan alasan untuk menghindari hukuman atau tanggung jawab hukum.
Prinsip ini telah menjadi fondasi dalam sistem hukum di berbagai negara, termasuk Indonesia. Ia mengandung makna bahwa setiap individu dianggap mengetahui hukum yang berlaku, meskipun pada kenyataannya tidak semua orang benar-benar memahami seluk-beluk aturan hukum. Pertanyaannya, apakah prinsip ini benar-benar adil? Bagaimana implikasi dan penerapannya dalam masyarakat?
Asas Ignorantia Juris Non Excusat memiliki akar yang panjang dalam sejarah hukum. Prinsip ini berasal dari tradisi hukum Romawi kuno, di mana para pemikir hukum saat itu berpendapat bahwa hukum harus memiliki kepastian (certainty of law). Jika seseorang bisa menghindari hukuman hanya karena tidak mengetahui hukum, maka ketertiban masyarakat akan terganggu.
Dalam sistem hukum modern, asas ini diadopsi dalam berbagai bentuk. Di Indonesia, prinsip ini secara implisit termaktub dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Contohnya, dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Artinya, tidak ada pengecualian bagi siapa pun untuk tidak tunduk pada aturan hukum hanya karena ketidaktahuan.
Seorang pakar hukum, John Salmond, pernah mengatakan, “Hukum tidak mungkin berfungsi jika setiap individu diberikan kebebasan untuk mengabaikan hukum dengan alasan tidak mengetahuinya.” Pernyataan ini menegaskan bahwa hukum harus berlaku secara universal tanpa pengecualian.
Dalam praktiknya, banyak kasus menunjukkan bahwa ketidaktahuan terhadap hukum tidak dapat dijadikan alasan pembebasan. Sebagai contoh, dalam kasus pelanggaran lalu lintas. Seorang pengemudi yang baru pertama kali berkendara di suatu daerah mungkin tidak mengetahui adanya aturan ganjil-genap, tetapi jika ia melanggar aturan tersebut, tetap akan dikenakan sanksi. Hal ini sejalan dengan tujuan hukum untuk menciptakan kepastian dan ketertiban dalam masyarakat.
Namun, terdapat pula kasus yang menimbulkan perdebatan, misalnya terkait regulasi yang kurang tersosialisasi dengan baik. Seorang pedagang kecil yang tidak mengetahui aturan perpajakan tertentu mungkin akan terkena sanksi administrasi atau denda, meskipun ia tidak memiliki akses yang cukup terhadap informasi hukum. Inilah yang kemudian memunculkan diskusi tentang aspek keadilan dari penerapan prinsip ini.
Di sinilah muncul tantangan utama dari asas Ignorantia Juris Non Excusat: tidak semua orang memiliki akses dan pemahaman yang sama terhadap hukum. Kelompok masyarakat dengan pendidikan tinggi dan sumber daya yang memadai tentu lebih mudah mengakses informasi hukum dibandingkan mereka yang berasal dari kalangan kurang mampu atau tinggal di daerah terpencil.
Di Indonesia, keterbatasan literasi hukum masih menjadi masalah. Banyak masyarakat yang bahkan tidak mengetahui hak-hak dasar mereka sebagai warga negara. Dalam konteks ini, tanggung jawab tidak hanya ada pada individu, tetapi juga pada negara untuk memastikan bahwa hukum tersosialisasi dengan baik dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat.
Sebagai contoh, dalam beberapa kasus hukum pidana, ada terdakwa yang tidak memahami bahwa perbuatannya tergolong tindak pidana karena kurangnya edukasi hukum. Hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan, terutama jika terdakwa berasal dari latar belakang ekonomi yang kurang beruntung. Oleh karena itu, upaya meningkatkan kesadaran hukum melalui pendidikan dan sosialisasi menjadi sangat penting.
Sejumlah ahli hukum mempertanyakan keadilan prinsip Ignorantia Juris Non Excusat, terutama dalam kasus di mana hukum sulit dipahami atau tidak disebarluaskan secara efektif. Profesor Lon L. Fuller, seorang filsuf hukum terkenal, mengemukakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang dapat diakses dan dimengerti oleh masyarakat. Jika suatu aturan terlalu kompleks atau tidak tersosialisasi dengan baik, maka prinsip ini bisa menjadi tidak adil bagi mereka yang kurang memiliki akses informasi.
Selain itu, hukum bersifat dinamis. Regulasi yang berubah-ubah sering kali membuat masyarakat kesulitan untuk mengikutinya. Misalnya, perubahan peraturan perpajakan atau kebijakan lingkungan yang baru mungkin tidak segera diketahui oleh semua orang, tetapi mereka tetap akan dikenakan sanksi jika melanggarnya.
Sebagai respons terhadap kritik ini, beberapa negara menerapkan prinsip keterbukaan hukum (legal transparency), di mana pemerintah berkewajiban untuk menyebarluaskan aturan hukum secara lebih luas. Di beberapa yurisdiksi, ada pengecualian tertentu terhadap prinsip ini, misalnya dalam kasus di mana hukum tersebut baru diterapkan atau memiliki sifat teknis yang sulit dipahami oleh masyarakat awam.
Asas Ignorantia Juris Non Excusat adalah prinsip fundamental yang menjaga ketertiban hukum dan kepastian dalam masyarakat. Jika seseorang dapat menghindari hukuman hanya dengan alasan tidak mengetahui hukum, maka sistem hukum akan kehilangan otoritasnya. Namun, di sisi lain, penerapan prinsip ini harus mempertimbangkan faktor aksesibilitas hukum bagi masyarakat. Keadilan dalam hukum tidak hanya tentang menegakkan aturan secara ketat, tetapi juga memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan untuk memahami hukum yang berlaku. Oleh karena itu, peran negara dalam menyebarluaskan informasi hukum menjadi krusial. Selain itu, masyarakat juga perlu lebih proaktif dalam mencari informasi hukum agar tidak terjebak dalam situasi yang merugikan diri sendiri.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Oliver Wendell Holmes Jr., seorang hakim Agung Amerika Serikat, “Hukum adalah sesuatu yang harus diketahui dan dipahami oleh mereka yang hidup di bawahnya.” Hukum bukanlah alat untuk menjerat masyarakat dalam jebakan ketidaktahuan, melainkan pedoman yang harus bisa diakses dan dipahami oleh semua orang.
Pada akhirnya, hukum adalah cerminan dari keseimbangan antara kepastian dan keadilan. Masyarakat yang sadar hukum bukan hanya akan lebih terlindungi, tetapi juga akan berkontribusi pada terciptanya sistem hukum yang lebih adil dan transparan.