Ketika berbicara tentang kredit dan pinjaman, jaminan fidusia menjadi salah satu instrumen hukum yang sering digunakan. Banyak orang mungkin tidak terlalu memperhatikan aspek hukumnya saat menandatangani perjanjian kredit, tetapi pada kenyataannya, jaminan fidusia memiliki implikasi besar, baik bagi kreditur maupun debitur. Ada aspek perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur, tetapi di sisi lain, ada juga risiko yang harus dihadapi debitur, terutama dalam hal eksekusi jaminan.
Secara sederhana, fidusia adalah bentuk jaminan di mana kepemilikan suatu benda tetap berada pada debitur, tetapi hak jaminannya diberikan kepada kreditur sebagai jaminan atas utang yang diberikan. Konsep ini memungkinkan debitur tetap menggunakan barang yang dijadikan jaminan, misalnya kendaraan atau mesin usaha, tetapi dengan syarat bahwa barang tersebut dapat diambil alih oleh kreditur jika terjadi wanprestasi.
Di Indonesia, fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Undang-undang ini menjadi dasar hukum bagi kreditur dalam mengamankan haknya atas objek jaminan, serta bagi debitur untuk memahami batasan dan kewajibannya dalam perjanjian fidusia. Salah satu hal yang ditekankan dalam aturan ini adalah kewajiban pendaftaran jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia, sehingga memiliki kekuatan eksekutorial tanpa perlu melalui putusan pengadilan.
Dari perspektif kreditur, jaminan fidusia memberikan kepastian hukum dalam pemberian kredit. Jika debitur gagal membayar atau wanprestasi, kreditur dapat langsung melakukan eksekusi terhadap objek jaminan tanpa harus menempuh proses peradilan yang panjang.
Namun, perlindungan ini hanya berlaku bagi kreditur yang telah mendaftarkan perjanjian fidusia secara resmi. Dalam praktiknya, banyak perusahaan pembiayaan yang enggan melakukan pendaftaran karena dianggap menambah beban administratif dan biaya. Padahal, tanpa pendaftaran, eksekusi jaminan bisa menjadi tidak sah dan berpotensi menimbulkan sengketa hukum.
Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 mengubah cara pandang terhadap eksekusi fidusia. Putusan ini menegaskan bahwa eksekusi jaminan fidusia tidak boleh dilakukan secara sepihak oleh kreditur, melainkan harus melalui kesepakatan antara kedua belah pihak atau putusan pengadilan jika terjadi sengketa. Artinya, meskipun kreditur memiliki hak eksekutorial, tetap ada batasan yang harus diperhatikan dalam pelaksanaannya.
Di sisi lain, debitur menghadapi tantangan tersendiri dalam skema jaminan fidusia. Meskipun mereka tetap bisa menggunakan barang yang dijadikan jaminan, hak kepemilikan atas barang tersebut secara hukum telah dialihkan kepada kreditur. Ini berarti jika terjadi gagal bayar, barang bisa langsung ditarik tanpa proses hukum yang kompleks.
Masalah yang sering muncul adalah cara eksekusi yang dilakukan oleh pihak leasing atau kreditur. Tidak jarang kita mendengar kasus di mana kendaraan debitur ditarik secara paksa di jalan oleh debt collector tanpa pemberitahuan yang layak. Beberapa tindakan ini bahkan melanggar hukum karena dilakukan tanpa akta fidusia yang sah.
Selain itu, ada risiko lain yang harus diwaspadai debitur, seperti penyalahgunaan hak jaminan fidusia. Dalam beberapa kasus, debitur yang mengalihkan atau menjual barang jaminan tanpa izin kreditur bisa dikenakan sanksi hukum, termasuk pidana. Pasal 36 UU Jaminan Fidusia menyatakan bahwa tindakan semacam itu bisa dianggap sebagai tindak pidana penipuan atau penggelapan.
Dalam perspektif ini, keseimbangan perlindungan hukum antara kreditur dan debitur menjadi penting. Jika tidak ada mekanisme pengawasan yang baik, debitur bisa menjadi pihak yang paling dirugikan dalam praktik fidusia.
Salah satu masalah utama dalam praktik fidusia di Indonesia adalah kurangnya kepatuhan dalam pendaftaran jaminan fidusia. Banyak kreditur, terutama dari perusahaan pembiayaan, yang enggan mendaftarkan fidusia karena alasan biaya dan administrasi. Akibatnya, ketika terjadi wanprestasi, proses eksekusi bisa menjadi tidak sah dan menimbulkan konflik dengan debitur.
Persoalan lain adalah masih maraknya eksekusi sepihak oleh pihak leasing atau debt collector. Meskipun putusan Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa eksekusi fidusia harus dilakukan dengan persetujuan atau melalui putusan pengadilan, kenyataannya banyak pihak yang tetap melakukan penarikan secara paksa tanpa dasar hukum yang jelas.
Menurut Prof. Adrian Sutedi, seorang ahli hukum perdata, dalam bukunya tentang jaminan fidusia, ia menekankan bahwa eksekusi jaminan fidusia harus mengedepankan prinsip proporsionalitas dan perlindungan hak asasi manusia. Eksekusi yang dilakukan secara sewenang-wenang tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga dapat menimbulkan konflik sosial yang lebih besar.
Secara garis besarnya, hukum fidusia di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam hal keseimbangan perlindungan antara kreditur dan debitur. Kreditur memiliki hak eksekusi terhadap jaminan fidusia, tetapi pelaksanaannya harus dilakukan dengan cara yang sesuai dengan hukum dan tidak merugikan debitur.
Putusan Mahkamah Konstitusi telah memberikan perlindungan tambahan bagi debitur dengan melarang eksekusi sepihak, tetapi implementasinya masih menghadapi berbagai kendala. Untuk itu, diperlukan regulasi yang lebih ketat dan pengawasan yang lebih baik agar praktik fidusia di Indonesia dapat berjalan secara adil dan transparan.
Pada akhirnya, baik kreditur maupun debitur memiliki tanggung jawab untuk memahami aspek hukum dalam perjanjian fidusia. Dengan kesadaran hukum yang lebih baik, diharapkan praktik fidusia dapat berjalan dengan lebih seimbang dan tidak merugikan salah satu pihak secara sepihak.