Dugaan Suap Hakim PN Surabaya, Bukti Masalah Integritas Masih Ada

Dugaan Suap Hakim PN Surabaya, Bukti Masalah Integritas Masih Ada


Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) harus diinternalisasikan menjadi prinsip-prinsip yang tertanam dalam hati dan diwujudkan dalam perilaku sehari-hari agar mampu bertahan dalam segala cobaan dan godaan.

Tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Kejaksaan Agung pada Rabu (23/10/2024). Penangkapan itu terkait dugaan suap dalam pembebasan yang diberikan kepada Gregorius Ronald Tannur. Ketiga hakim PN Surabaya yang ditetapkan sebagai tersangka merupakan majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Ronald Tannur di pengadilan tingkat pertama dalam kasus pembunuhan Dini Sera Afriyanti. Ketiganya memutuskan membebaskan Ronald Tannur dari segala tuduhan.

Terulangnya rangkaian peristiwa penangkapan hakim akan menambah beban aparat penegak hukum dalam mencapai tujuan yang diharapkan. “Hal ini membuktikan masih adanya permasalahan profesionalisme dan integritas di kalangan hakim/pejabat peradilan,” kata Pendiri Ethics of Care Farid Wajdi saat dikonfirmasi, Kamis (24/10/2024).

Baca Juga:

Ironisnya, penangkapan ini dilakukan belum genap seminggu setelah pemerintah menaikkan gaji pokok dan tunjangan hakim sebesar 30 persen dan tunjangan jabatan hakim sebesar 40 persen sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2024 tentang revisi ketiga PP 94/ 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Bagi Hakim di Mahkamah Agung. .

“Reformasi peradilan meskipun telah mampu mencapai banyak hal, namun belum mampu mencapai hal yang mendasar yaitu integritas dan profesionalisme. Artinya juga perubahan yang dilakukan masih bersifat aksesori/formal dan tidak substansial,” kata KY. anggota periode 2015-2020.

Menurutnya, kasus Ronald Tanur juga menjadi bukti bahwa independensi hakim justru menjadi impunitas bagi oknum hakim/pejabat peradilan sehingga sangat mendesak perlu diimbangi dengan akuntabilitas. Produk hukum berupa putusan yang baik hanya dapat dihasilkan oleh hakim yang beretika dan berintegritas baik.

Baca Juga:  Kendala dan Alternatif Solusi Eksekusi Putusan Peradilan TUN

Oleh karena itu, kasus Gregorius Ronald Tanur hendaknya mendorong pemanfaatan hasil pengawasan etik Komisi Yudisial ke arah yang lebih besar, yaitu pengaruhnya di tingkat selanjutnya atau bahkan dijadikan alat bukti baru pada kasus-kasus selanjutnya. “Jika jelas pelanggaran etik yang dilakukan seorang hakim mempunyai dampak atau berkaitan langsung dengan suatu perkara, maka putusan yang bersangkutan harus dapat dibatalkan dengan hasil pengawasan Komisi Yudisial yang menjadi dasar salah satunya. .


Sumber: hukumonline

Source link

Picture of Aladdien
Aladdien

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terbaru

Berikut ini kumpulan artikel terbaru kami

Subcribe

Dapatkan update artikel dari kami dengan berlangganan

TRENDING ARTICLES
STAY CONNECTED
Facebook
Twitter
LinkedIn
Logo Cadhas 1
© LBH CADHAS 2024.
All rights reserved.
//
Tim dukungan konsultasi siap menjawab pertanyaan Anda.
👋 Hallo, Silahkan beri tahu apa yang dapat kami bantu?
LBH CADHAS Kami ingin menunjukkan kepada Anda pemberitahuan untuk berita dan pembaruan terkini.
Dismiss
Allow Notifications