RUU TNI dan Ancaman terhadap Demokrasi: Sebuah Tinjauan Kritis

Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang saat ini tengah dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah telah memicu perdebatan hangat di kalangan masyarakat. Salah satu isu utama yang mencuat adalah kekhawatiran akan kembalinya dwi fungsi TNI dan meningkatnya militerisme dalam kehidupan sipil. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai bahwa RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang berpotensi mengembalikan peran sosial dan politik TNI seperti pada era Orde Baru.

Secara historis, Undang-Undang TNI No. 34 tahun 2004 telah menjadi payung hukum yang digunakan dalam membangun transformasi TNI ke arah militer yang profesional. Banyak pihak beranggapan bahwa UU ini masih relevan, sehingga pengajuan revisi tidaklah mendesak. Bahkan, sejak awal banyak koalisi masyarakat sipil telah menilai bahwa revisi tersebut justru membawa sejumlah risiko, terutama dalam konteks pengembalian dwifungsi TNI yang seharusnya sudah menjadi masa lalu. Transformasi TNI yang semula diarahkan pada profesionalisme kini terancam oleh potensi penambahan tugas dan jabatan yang tidak hanya memberatkan struktur pertahanan, namun juga mengaburkan batas antara fungsi militer dan peran sipil.

Salah satu poin krusial dalam RUU ini adalah perluasan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif. Jika sebelumnya hanya sepuluh lembaga yang diperbolehkan, kini jumlahnya bertambah menjadi enam belas, termasuk Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Penempatan prajurit TNI aktif di lembaga-lembaga sipil seperti ini dianggap tidak tepat, mengingat fungsi utama TNI sebagai alat pertahanan negara, sementara lembaga-lembaga tersebut memiliki fungsi penegakan hukum dan pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya dijalankan oleh aparatur sipil.

Selain itu, penambahan tugas operasi militer selain perang (OMSP) yang mencakup penanganan masalah narkotika dan siber juga menimbulkan kekhawatiran. Pelibatan TNI dalam penanganan narkotika, misalnya, dapat menggeser pendekatan yang seharusnya lebih menekankan aspek medis dan penegakan hukum menjadi pendekatan militeristik. Hal ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan tumpang tindih kewenangan dengan aparat penegak hukum lainnya.

Baca Juga:  Asas Kebebasan Berkontrak dalam Hukum Perdata: Batasan dan Implikasinya

Lebih lanjut, RUU TNI ini juga mengatur bahwa pelibatan TNI dalam OMSP tidak lagi memerlukan persetujuan DPR melalui kebijakan politik negara, melainkan cukup diatur melalui Peraturan Pemerintah. Penghapusan peran parlemen dalam proses ini dapat mengurangi mekanisme checks and balances yang esensial dalam sistem demokrasi, membuka peluang bagi penyalahgunaan wewenang oleh militer tanpa kontrol yang memadai dari lembaga sipil.

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Sejarah mencatat bahwa dwi fungsi ABRI pada masa Orde Baru telah menimbulkan berbagai penyimpangan dan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, menjaga profesionalisme TNI dengan membatasi peran mereka pada fungsi pertahanan negara adalah langkah penting untuk mencegah terulangnya kesalahan masa lalu.

Di sisi lain, pihak TNI dan pemerintah berargumen bahwa revisi UU TNI ini bertujuan untuk memperkuat pertahanan negara dan meningkatkan profesionalisme prajurit. Kapuspen TNI Brigjen TNI Kristomei Sianturi menyatakan bahwa revisi ini merupakan langkah strategis untuk memastikan supremasi sipil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, argumen tersebut perlu ditelaah secara kritis. Penambahan kewenangan dan perluasan peran TNI dalam ranah sipil justru dapat mengaburkan batas antara fungsi militer dan sipil, yang pada gilirannya dapat melemahkan supremasi sipil itu sendiri. Sebagaimana diungkapkan oleh Peneliti Setara Institute, Ikhsan Yosarie, RUU TNI secara jelas menunjukkan ada upaya mengembalikan peran sosial dan politik atau dwi fungsi TNI.

Selain itu, urgensi revisi UU TNI ini juga dipertanyakan oleh berbagai pihak. Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, M Ali Safa’at, mempertanyakan apakah revisi ini benar-benar dapat menyelesaikan permasalahan yang ada atau justru menimbulkan masalah baru.

Dalam konteks ini, penting bagi DPR dan pemerintah untuk mempertimbangkan masukan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk koalisi masyarakat sipil dan akademisi, sebelum mengambil keputusan final terkait RUU TNI. Transparansi dalam proses pembahasan dan keterlibatan publik adalah kunci untuk memastikan bahwa revisi UU TNI tidak mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak reformasi.

Baca Juga:  Pembenaran Otokrasi dalam Proses Legislatif

Sebagai penutup, menjaga profesionalisme TNI dengan membatasi peran mereka pada fungsi pertahanan negara adalah langkah penting untuk mencegah terulangnya kesalahan masa lalu. Oleh karena itu, revisi UU TNI perlu dikaji ulang dengan cermat agar tidak membuka ruang bagi kembalinya dwi fungsi TNI dan meningkatnya militerisme dalam kehidupan sipil.

Picture of U. Andre Baharudin S.Tr.Pi
U. Andre Baharudin S.Tr.Pi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© LBH CADHAS 2024.
All rights reserved.
//
Tim dukungan konsultasi siap menjawab pertanyaan Anda.
👋 Hallo, Silahkan beri tahu apa yang dapat kami bantu?
LBH CADHAS Kami ingin menunjukkan kepada Anda pemberitahuan untuk berita dan pembaruan terkini.
Dismiss
Allow Notifications