Undang-undang nasional menyatakan bahwa semua harta yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama. Pengecualian terhadap aturan ini diperbolehkan jika ada perjanjian perkawinan atau perjanjian pranikah. Menurut putusan Mahkamah Konstitusi, perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum (perjanjian pranikah), selama dan setelah pernikahan.
Yang tidak termasuk harta bersama adalah harta warisan. Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019harta warisan yang diwariskan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, berada di bawah penguasaan masing-masing selama para pihak tidak menentukan lain.
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan harta bersama (kemitraan) sebagai harta bersama dalam perkawinan, baik yang diperoleh sendiri maupun bersama-sama, tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta tersebut. Pasal 96 KHI mengatur bahwa apabila terjadi perceraian karena kematian, maka separuh dari harta bersama menjadi hak pasangan yang masih hidup. Ditetapkan bahwa pembagian harta bersama bagi suami atau istri yang istrinya atau suaminya terlilit utang harus ditunda sampai ada kepastian tentang kematian yang sebenarnya atau kematian yang sah berdasarkan putusan pengadilan agama.
Dalam hal terjadi perceraian, harta bersama pada prinsipnya dibagi secara adil dan merata. Pertimbangan majelis hakim dalam Putusan Nomor 3553 K/Pdt/2019 memuat asas keadilan, yang menyatakan bahwa dianggap adil apabila kedua belah pihak membagi masing-masing setengah dari harta yang disengketakan. Apabila harta yang disengketakan tidak dapat dibagi secara natura, maka dijual dan hasilnya dibagi dua, masing-masing mendapat setengah. (Lihat pula Putusan Mahkamah Agung Nomor 2302 K/Pdt/2018 tanggal 8 Oktober 2018).
Sumber: hukumonline
Source link