Pengadilan negeri diusulkan untuk menggunakan mekanisme proses pembatalan. Untuk memeriksa gugatan tersebut pada tahap awal guna menentukan apakah gugatan tersebut dapat ditangani oleh pengadilan negeri atau tidak.
Perbaikan terhadap perubahan hukum acara perdata saat ini sangat dibutuhkan. Karena kebijakan yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sebagian besar merupakan peninggalan kolonial Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Sejumlah kalangan, termasuk praktisi hukum, telah mengusulkan berbagai substansi yang perlu dimasukkan dalam perubahan hukum acara perdata.
Mitra Assegaf Hamzah & Partners (AHP), Asep Ridwan, mengatakan hukum acara perdata bersinggungan dengan hukum acara lainnya. Bahkan, dalam perkara perdata, masih saja terjadi kesalahan para pihak dalam memilih forum penyelesaian sehingga akhirnya pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang menangani perkara tersebut.
“Sejak 2016-2022, sedikitnya ada 32 putusan, di mana pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang menangani perkara tersebut karena pengadilan yang berwenang adalah pengadilan lain atau arbitrase,” kata Asep dalam diskusi yang diselenggarakan Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Iluni FHUI) dengan tema Peluncuran Buku dan Diskusi Catatan Kritis Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Senin (15/7/2024) kemarin.
Baca juga:
Masalah selanjutnya adalah ketika salah satu pihak kalah di forum pengadilan seperti tata usaha negara dan arbitrase, mereka tetap saja mengajukan gugatan ke pengadilan negeri. Seolah-olah pengadilan negeri itu seperti 'tong sampah' yang menampung segala jenis gugatan. Itulah yang membuat perkara tidak pernah selesai, apalagi jika ada putusan pengadilan yang saling bertentangan. Dengan posisi seperti itu, potensi terjadinya kekeliruan, tumpang tindih putusan, dan duplikasi gugatan yang dilakukan oleh pengadilan negeri akan terus terjadi.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan menggunakan mekanisme. proses pemberhentian sebagaimana yang berlaku saat ini di pengadilan tata usaha negara. Asep menjelaskan, mekanisme ini memberikan kewenangan kepada ketua pengadilan untuk menentukan apakah pengadilan negeri berwenang memeriksa suatu perkara atau tidak. Cara ini juga menghindari penumpukan perkara di Mahkamah Agung (MA).
Sumber: hukumonline
Source link