Tampaknya tidak ada yang mencurigai nomor hukum 24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan simbol negara, serta lagu kebangsaan (hukum bahasa) akan memiliki efek serius pada pengembangan hukum kontrak di Indonesia. Selain itu, artikel yang merupakan sumber polemik akademis dan praktiknya sangat singkat tanpa instruksi bahwa kecerdasan terkait dengan urusan sipil.
Pasal 31 Paragraf 1 Undang -undang Bahasa berbunyi, “Indonesia harus digunakan dalam nota pemahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, lembaga pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau warga negara Indonesia individu”. Ketentuan semacam ini juga dicatat dalam Pasal 48 Paragraf 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 tahun 2012 mengenai implementasi sistem dan transaksi elektronik (PP PSE 2012) mengenai kontrak dalam media transaksi elektronik.
Ketika PP PSE 2012 digantikan oleh PP Number 71 tahun 2019 mengenai implementasi sistem dan transaksi elektronik (PP PSE 2019), ketentuan yang tepat dinyatakan dalam Pasal 47 Paragraf 1 PP PSE 2019
Kasus pertama yang mengangkat masalah hukum kontrak tentang Indonesia adalah Nine Am Ltd. sebagai kreditor vs Pt Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) sebagai debitur. Jelas bahwa BKPL berutang jutaan dolar hingga sembilan pagi. Kontrak itu dibuat dengan memenuhi prinsip kebebasan dan secara sadar menyatakan klausul yang berbunyi, “Perjanjian ini diatur oleh dan ditafsirkan menurut undang -undang yang berlaku di Republik Indonesia. Mengenai Perjanjian ini dan semua konsekuensinya, debitur memilih domisili pengadilan tetap di kantor pendaftar Jakarta Barat”.
(Tagstotranslate) pembatalan kontrak
Sumber: hukumonline
Source link