Praktek pembuatan perjanjian di masyarakat ditandai dengan model perjanjian yang sangat bervariasi. Adanya model perjanjian yang bervariasi seperti ini dapat dipahami jika melihat kebutuhan masyarakat dalam membuat perjanjian terkait. Salah satu contoh yang sering terjadi adalah adanya PPJB di atas perjanjian utang piutang.
Sebelumnya perlu kita lihat kembali, bagaimana praktik penempatan PPJB di atas perjanjian utang piutang? Praktek ini sering muncul di masyarakat ketika terjadi hubungan hutang dan piutang antara debitur dan kreditur. Selanjutnya untuk melindungi kepentingan para pihak maka dibuatlah perjanjian utang piutang sebagai perjanjian pokoknya. Kesepakatan juga dibuat aksesori berupa PPJB antara debitur dan kreditur serta kuasa menjual dari debitur kepada kreditur. Tujuan dibuatnya PPJB dan kuasa menjual adalah sebagai sarana bagi kreditur untuk menagih pelunasan utang dari debitur apabila terjadi kegagalan membayar di kemudian hari.
Permasalahan kemudian muncul ketika kreditur melakukan proses jual beli atau penggantian nama sertifikat tanah dan/atau bangunan yang sebelumnya dijadikan jaminan. Contoh kasusnya ada pada Putusan Nomor 19/PDT.G/2020/PN.GPR. Soalnya debitur meminjam uang kepada kreditur dengan sistem pembayaran dengan mencicil bunga utangnya sebesar Rp 60.000.000,- setelah itu dibayarkan pokok uang yang dipinjamnya. Jaminan dalam transaksi ini adalah dua buah sertifikat tanah milik debitur.
Kreditur kemudian menjaminkan salah satu sertifikat tanah milik debitur kepada Bank Perkreditan Rakyat di Kota Kediri untuk menagih pelunasan utang dari debitur. Setelah itu debitur dan kreditur menghadap notaris untuk menandatangani akta yang tidak dibacakan oleh notaris.
Sumber: hukumonline
Source link
