Dua tahun lalu, Kepolisian Daerah Kepulauan Riau (Kepri) menangkap 10 warga negara asing (WNA) asal China yang menjadi pelaku pungli Video Call Sex (VCS). WNA tersebut ditangkap di sebuah kompleks perumahan di Kota Batam. Pemerasan dilakukan terhadap pejabat dan pengusaha di China melalui aplikasi Michat. Hal ini dilakukan pelaku asal Batam demi menghindari jerat hukum aparat di China. Namun tim berhasil menangkap pelaku Kejahatan dunia maya Polda Kepulauan Riau.
Direktur Reserse Kriminal Polda Kepri saat itu, Kompol Teguh Wibowo mengatakan, awalnya pelaku membujuk korban. Setelah korban dibujuk, pelaku merekamnya. Rekaman itu dijadikan alat untuk memeras korban. Setelah pelaku tertangkap, mereka akhirnya dideportasi ke negara asalnya untuk diadili sesuai hukum Tiongkok.
Sadar bahwa kejahatan jenis ini semakin meluas, pasca Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN dalam Kejahatan Transnasional (AMMTC) ke-17 di Labuan Bajo pada Agustus 2023, Kementerian Keamanan Publik Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menindaklanjutinya dengan melakukan operasi gabungan (operasi bersama) bersama Kepolisian Republik Indonesia. Hasilnya, operasi berhasil mengamankan lokasi 88 WNA pelaku pungli online, yakni di tiga lokasi di Kota Batam. Mengingat tidak ada satu pun korban yang merupakan warga negara Indonesia, maka pelaku dideportasi untuk diproses oleh Kepolisian Tiongkok.
Cara ini sebenarnya juga umum terjadi di Indonesia, meski dengan pelaku yang berbeda. Pada triwulan II tahun 2024, salah satu kasus menimpa seorang selebriti berinisial RR. Korban mendapat ancaman penyebaran konten intim dari seseorang yang dikenalnya. Pelaku mengancam RR dengan uang tebusan Rp300 juta. Setelah RR melaporkan kasus tersebut ke polisi, pelaku ditangkap. Data dari Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) menunjukkan tingginya jumlah kekerasan berbasis gender online yang terjadi pada periode tersebut (April-Juni 2024). Ancaman penyebaran konten intim menempati posisi pertama.
Sumber: hukumonline
Source link