Rinciannya, pada periode 2020-2024 terdapat 248 Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah. Dari jumlah tersebut, terdapat 225 RUU yang disahkan sebagai Prolegnas, namun hanya terdapat 43 RUU prioritas sehingga jumlahnya tidak lebih dari 18 persen. Sementara pada periode 2010-2014, dari 262 RUU Prolegnas yang rampung hanya 70 RUU atau 26 persen, sedangkan pada periode 2015-2019 baru rampung 17 persen. Ini hanya dari sisi sasaran, bukan dari sisi lain.
Riset yang dilakukan Pusat Kajian Hukum dan Kebijakan (PSHK) setidaknya memberikan tiga catatan mengenai carut marutnya proses legislasi di Indonesia. Mulai dari target dan proyeksi capaian legislasi 2020—2024, perspektif legislasi 2020—2024 legalisme otokratisdan undang-undang tahun 2020—2024 dalam perspektif ruang sipil.
Pada bagian pertama, bukan hanya tidak mencapai target 30 persen, bahkan pada periode 2020-2024 pencapaiannya hanya 18 persen. RUU yang disahkan sebagai Prolegnas hanya berjumlah 225 RUU dari 248 RUU dalam Prolegnas Jangka Menengah. Itupun hanya ada 43 RUU prioritas.
Kualitas undang-undang yang disahkan juga menuai banyak kontroversi. Kita masih ingat bagaimana UU Cipta Kerja mendapat kritik yang sangat pedas, dan juga pasal-pasal di KUHP 2023 yang masih memuat pasal karet, sebagaimana juga tertuang dalam UU ITE.
Sumber: hukumonline
Source link