Bagaimana mendamaikan hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan negara Pancasila

Bagaimana mendamaikan hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan negara Pancasila


Sebelumnya Hazairin, Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Adat Universitas Indonesia, telah merumuskan cara agar hukum Islam dan hukum agama apa pun yang hidup di Indonesia dapat diakomodasi secara damai dalam peraturan perundang-undangan Negara yang berdasarkan Pancasila. Jelasnya dalam buku kerjanya yang berjudul Demokrasi Pancasila (1970) Hazairin mengatakan, “Kitab-kitab suci yang bernada syariat (Al-Quran, Injil, kitab Hindu Bali) mengandung persamaan yang dapat dijadikan landasan bersama dalam pembinaan hukum nasional, sedangkan perbedaan yang ada dapat dijadikan sumber hukum khusus. itu hanya berlaku bagi penganut agamanya masing-masing”.

Hazairin merinci, undang-undang yang dimaksud hanya sebatas dalam pelaksanaannya memerlukan mediasi kekuasaan negara. “Syariah yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya dan oleh karena itu dapat dilaksanakan oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi kepada Tuhan bagi setiap orang, yang dijalankannya sendiri sesuai dengan agamanya masing-masing,” kata Guru Besar Hukum Islam terkenal ini.

Hazairin menilai tidak hanya hukum Islam saja yang mendapat tempat dalam hukum nasional. “Setiap pemeluk agama tentu memahami apa yang dibutuhkannya secara spesifik, dan selebihnya sejalan dengan cita-cita unifikasi hukum yang semaksimal mungkin, semua umat beragama dapat dikenakan kodifikasi hukum,” kata Hazairin. Pandangan ini dimaknai Hazairin sebagai konsekuensi rumusan Pancasila yang mengetahui sila Tuhan Yang Maha Esa dan Pasal 29 UUD 1945 yang Negara yang berdasarkan ketuhanan Yang Maha Kuasa.

Ada enam tafsir yang dikemukakan Hazairin terhadap Pasal 29 UUD 1945. Pertama, tidak boleh terjadi atau berlakunya sesuatu yang bertentangan dengan agama terhadap setiap pemeluknya di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, pelaksanaan hukum masing-masing agama bagi pemeluk agama yang memerlukan bantuan perantara kekuasaan negara menjadi wajib dilakukan oleh negara. Ketiga, jika hukum agama dapat dijalankan oleh umatnya tanpa perlu melibatkan kekuasaan negara, maka hal itu menjadi urusan pribadi terhadap Tuhan. Keempat, segala aturan agama yang bertentangan dengan Pancasila harus dilakukan kembali dengan tokoh agama terkait karena tidak boleh diaktifkan dalam kehidupan di Indonesia.

Baca Juga:  Penguatan Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam Hukum Acara Pidana di Masa Depan

(tagstotranslate) hukum Islam


Sumber: hukumonline

Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© LBH CADHAS 2024.
All rights reserved.
//
Tim dukungan konsultasi siap menjawab pertanyaan Anda.
👋 Hallo, Silahkan beri tahu apa yang dapat kami bantu?
LBH CADHAS Kami ingin menunjukkan kepada Anda pemberitahuan untuk berita dan pembaruan terkini.
Dismiss
Allow Notifications