Berbagai kasus peretasan terjadi berulang kali, tetapi pemerintah seolah menganggapnya masalah sepele.
Peretasan Pusat Data Sementara Nasional (PDNS 2) yang terjadi beberapa waktu lalu menimbulkan kekhawatiran masyarakat terhadap pengelolaan dan perlindungan data pribadi yang dilakukan di lembaga pemerintah. Dampak dari peretasan tersebut menyebabkan ratusan instansi pemerintah pusat dan daerah yang menggunakan PDNS mengalami penguncian data sehingga tidak dapat diakses. Kasus peretasan ini bukan kali pertama terjadi, melainkan sudah berulang kali terjadi.
Ketua Umum Masyarakat Konsumen Indonesia (KKI), David Tobing mengatakan, peretasan yang menimpa PDNS membuktikan pemerintah lemah dalam menghadapi ancaman siber. Padahal, keamanan menjadi salah satu alasan pemerintah menggabungkan data dari berbagai instansi di PDNS. Namun faktanya, PDNS tidak aman karena sudah pernah diretas.
“Menurut saya ini bukan pelajaran, tapi hukuman bagi pemerintah yang tidak pernah mau belajar dari kasus-kasus sebelumnya. Sampai kapan ini akan terus terjadi?,” kata David dalam diskusi daring bertema Headline Talks Hukumonline: Peretasan PDNS 2, Negara Lemah Hadapi Serangan Siber?, Kamis (18/7/2024).
Baca juga:
David melihat pemerintah terkesan tidak serius dalam menangani kasus peretasan yang terjadi selama ini. Misalnya, tidak adanya sanksi, audit, dan perbaikan yang dilakukan. Sebagai upaya mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan serius dan memperbaiki tata kelola keamanan siber serta perlindungan data, David berencana mengajukan gugatan perdata perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap pemerintah.
“Masalah kebocoran data, peretasan, dan perlindungan telah diremehkan,” katanya.
Masalah peretasan yang menimpa PDNS 2 bukan hanya keamanannya yang dilanggar, tetapi juga datanya dicuri. Lebih buruk lagi, tidak ada cadangan data atau cadanganmembuat proses pemulihan data menjadi sulit. Padahal, pencadangan data merupakan hal yang wajib bagi pihak yang menyimpan data. Anehnya, Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, berencana menerbitkan peraturan menteri yang mewajibkan pencadangan data.
“Menyimpan catatan cadangan elektronik atau cadangan Data tersebut perlu diatur, antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Amandemen Kedua Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik,” ujarnya.
Sumber: hukumonline
Source link