Sengketa jual beli lateks karet menyeret dua warga Kalteng ke pengadilan. Penggugat, sebut saja A, merasa rekan bisnisnya, sebut saja B, telah ingkar janji. A sudah menyerahkan uang hampir tiga ratus juta kepada B. Penyerahan uang itu hanya dicantumkan dalam kuitansi. B wajib memungut lateks karet dari A, selanjutnya A bertanggung jawab mengirimkannya ke perusahaan. A meminta pengadilan mewajibkan B mengembalikan uang tersebut, malah B mengajukan gugatan rekonvensi dan menuduh A justru melakukan wanprestasi.
Pengadilan Negeri Palangkaraya menolak gugatan A, malah mengabulkan gugatan rekonvensi yang diajukan B sebagai tergugat. Alasannya, terdakwa menepati janjinya untuk mengirimkan lateks karet ke lokasi B untuk dijual ke perusahaan. Pengadilan banding menguatkan keputusan tersebut, sehingga A mengajukan banding. Namun permohonan kasasi tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung. Majelis hakim menyimpulkan beberapa poin. Pertama, penggugat telah menyerahkan uang kepada tergugat yang dibuktikan dengan kuitansi, akta (di bawah tangannya), dan telah dikukuhkan oleh para pihak. Artinya perjanjian tersebut harus dinyatakan sah secara hukum. Kedua, dari bukti-bukti di persidangan, terdakwa menepati janjinya mengirimkan lateks karet. Bahkan, terdakwalah yang tidak segera menjual karet tersebut ke perusahaan di Buntok sehingga lateks karet tersebut rusak dan busuk. Ketiga, tidak sepatutnya tergugat menanggung sepenuhnya kerugian yang dialami penggugat akibat berkurangnya tonase karet dan turunnya harga karet. Majelis juga tidak melihat adanya itikad baik dari penggugat.
Majelis hakim dalam Putusan MA No.789 K/Pdt/2020 tanggal 28 April 2020 menilai adanya itikad baik para pihak, sebuah konsep yang telah lama diperdebatkan dalam hukum kontrak. Apakah pelaksanaan perjanjian itu dilakukan dengan itikad baik atau tidak, sudah lama menjadi persoalan hukum. Namun dalam prakteknya timbul pertanyaan, apakah asas itikad baik hanya diperlukan pada saat pelaksanaan kontrak atau harus ada pada tahap negosiasi atau pada tahap pembuatan kontrak?
Kata 'itikad baik' (itikad baik; itikad baik)disebutkan sekurang-kurangnya 22 kali dalam KUH Perdata. Diantaranya adalah Pasal 96, Pasal 98, Pasal 530-531, Pasal 1341, Pasal 1532, dan Pasal 1965. Kata ini juga lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Misalnya, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan bahwa pejabat pemerintah harus beritikad baik dalam menggunakan diskresi. Di sini, itikad baik dikaitkan dengan kejujuran dan penerapan prinsip-prinsip umum tata kelola yang baik.
Sumber: hukumonline
Source link