Dalam kehidupan bermasyarakat, orang sering kali menjanjikan atau menjanjikan sesuatu kepada orang lain. Dalam lingkup pemerintahan, seseorang berjanji akan memberikan suatu jabatan kepada orang lain jika orang pertama tersebut terpilih untuk menduduki jabatan tertentu. Ada pula pengusaha yang menjanjikan sertifikat akan siap ketika pembeli sudah selesai membangun rumah di kavling yang dibelinya. Ada lagi janji menikah dengan orang lain setahun setelah lulus kuliah.
Janji-janji seperti itu adalah hal biasa. Dalam dunia bisnis, perjanjian semacam itu sering kali dibuat secara tertulis. Jadi sebenarnya perjanjian yang mereka buat hanya benar-benar terjadi jika syarat atau ketentuan yang disepakati terpenuhi. Dalam dunia hukum, perjanjian semacam ini disebut dengan kewajiban bersyarat.
Subekti (1914-1992) mendefinisikan kewajiban bersyarat (secara kondisional) sebagai kewajiban yang bergantung pada suatu peristiwa di masa depan, yang belum tentu terjadi. Kewajiban bersyarat ini dapat terjadi dalam dua kondisi. Pertama, apa yang disebut kondisi sulit atau kondisi suspensif. Artinya, suatu perjanjian yang bergantung pada adanya persekutuan dengan syarat ditunda atau ditunda. Contoh sederhananya begini: A berjanji kepada B bahwa A akan membeli mobil antik milik B apabila A dinyatakan lulus uji notaris. Perikatan itu ditangguhkan sampai A lolos uji notaris. Jika A tidak lolos maka aliansi tidak terjadi.
Syarat yang kedua adalah dapat disepakati bahwa suatu perjanjian yang sah dan mengikat dapat menjadi batal apabila suatu peristiwa yang tidak pasti benar-benar terjadi. Jadi, perjanjian tersebut tunduk pada syarat-syarat pembatalan (kondisi yang bersifat resolusi). Contoh sederhana yang sering terjadi di pedesaan: X memperbolehkan Y menempati dan mengolah tanahnya selama X belum dipecat dari pekerjaannya. Apabila X kemudian diberhentikan dari pekerjaannya yang berarti tidak mempunyai sumber penghasilan lain, maka perjanjian itu batal.
Sumber: hukumonline
Source link