Jessica Kumala Wongso menjalani pemeriksaan permohonan peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (18/11/2024). Sidang ini disorot media massa, tiga hakim dan sederet jaksa terlihat berada di dalam ruangan. Berdasarkan kejadian tersebut, Jessica dan kuasa hukumnya santer diberitakan kemudian meninggalkan ruang sidang saat pemeriksaan berlangsung. Alasannya, Jessica dan kuasa hukumnya keberatan dengan izin yang diberikan majelis hakim kepada jaksa untuk menghadirkan ahli.
“Yang Mulia Hakim, karena kami keberatan, kami putuskan walk out,” demikian ucapan kuasa hukum Jessica, Hidayat Bostam, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang beredar luas. Hidayat beralasan sidang PK merupakan tahapan bagi Jessica sebagai pemohon PK. Pertanyaannya, apakah majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melakukan kesalahan saat memberikan kesempatan kepada jaksa untuk menyampaikan pendapat melalui ahli yang dihadirkan?
Mari kita telusuri Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Laporan penelitian Alfret Santalo dari Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana yang dimuat dalam Jurnal Hukum & Pembangunan (Peninjauan Kembali untuk Keadilan) mengingatkan bahwa, “Permohonan Peninjauan Kembali (PK) merupakan upaya hukum luar biasa yang diajukan bukan hanya atas ketidakpuasan terhadap putusan kasasi, tetapi terhadap seluruh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Artinya, putusan pengadilan negeri—sebagai tingkat pertama—yang tidak diajukan banding dapat diajukan peninjauan kembali, begitu pula putusan pengadilan tinggi yang tidak diajukan kasasi. Alfret dalam laporannya menyatakan, keberadaan PK di Indonesia secara historis lahir dari kasus Sengkon dan Karta pada tahun 1977. “Negara dalam kasus ini salah dalam menerapkan hukum (kegagalan keadilan) dimana mereka yang tidak bersalah dihukum sehingga keadilan menjadi menyimpang (kegagalan keadilan),” katanya.
Sumber: hukumonline
Source link