PKPU dan Nilai-Nilai Hukum yang Hidup di Masyarakat

PKPU dan Nilai-Nilai Hukum yang Hidup di Masyarakat


Alkisah, dua hari sebelum pergantian pemerintahan, Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani undang-undang yang kini sangat penting bagi dunia usaha. Pada hari yang sama, 18 Oktober 2004, Menteri Sekretaris Negara Bambang Kesowo, memasukkan undang-undang baru ini ke dalam Lembaga Negara (LN), dan pada hari itu juga dinyatakan berlaku. Dua hari kemudian, Susilo Bambang Yudhoyono diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia.

Aturan yang disahkan sebelum pergantian kekuasaan adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Berisi 308 pasal, undang-undang baru ini dengan tegas mencabut dan menyatakan tidak berlaku Ordonansi Kepailitan (Lembaran Negara 1905-217 persimpangan Staatblad 1906-348, dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Kepailitan Menjadi Undang-Undang.

Praktisnya, UU Kepailitan sudah diterapkan lebih dari 21 tahun. Sepanjang kurun waktu tersebut, banyak perusahaan yang dinyatakan bangkrut. Tak sedikit yang berhasil lolos melalui perdamaian dalam mekanisme Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pengadilan Niaga dapat menangani dan memutus lebih dari seribu perkara. Laporan Tahunan Mahkamah Agung tahun 2024 menunjukkan terdapat 1.058 perkara kepailitan yang harus ditangani, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 1.391 perkara.

Praktisnya, UU Kepailitan sudah diterapkan lebih dari 21 tahun

UU Kepailitan ini tidak hanya mengatur syarat dan langkah yang harus dilakukan jika ingin pailitkan debitur, tetapi juga memperjelas mekanisme permohonan PKPU. Saat itu, pembentuk undang-undang mempertimbangkan setidaknya ada tiga hal yang diperlukan untuk UU Kepailitan yang baru. Pertama, menghindari perampasan harta debitur apabila beberapa kreditor menagih piutangnya kepada debitur dalam periode yang sama. Kedua, menghindari kreditor pemegang hak agunan kebendaan menuntut haknya dengan menjual harta debitur tanpa mempertimbangkan kepentingan debitur atau kreditur lainnya. Ketiga, menghindari penipuan yang mungkin dilakukan oleh salah satu kreditur atau debitur itu sendiri. Misalnya debitur berusaha memberikan keuntungan kepada sanak saudaranya atau orang-orang kepercayaannya sehingga kreditur mengalami kerugian, atau menghalangi debitur untuk mengalihkan hartanya untuk menghindari tanggung jawab kepada kreditur. (Baca juga: Dalil Menyelamatkan Perusahaan Vs Petitum Perbuatan Melawan Hukum)

Baca Juga:  Melihat E-Litigasi dalam Sistem Peradilan Indonesia


Sumber: hukumonline

Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© LBH CADHAS 2024.
All rights reserved.
//
Tim dukungan konsultasi siap menjawab pertanyaan Anda.
👋 Hallo, Silahkan beri tahu apa yang dapat kami bantu?
LBH CADHAS Kami ingin menunjukkan kepada Anda pemberitahuan untuk berita dan pembaruan terkini.
Dismiss
Allow Notifications