Permasalahan Penggabungan PMH dan Cidera Janji dalam Gugatan

Permasalahan Penggabungan PMH dan Cidera Janji dalam Gugatan


“Tidak boleh mencampurkan wanprestasi dengan PMH dalam gugatan.” Jelas, tegas dan konklusif. Kalimat ini sangat sering digunakan oleh para terdakwa di pengadilan sebagai bagian dari pengecualian terhadap suatu gugatan yang tidak jelas atau capung yang tidak jelas. Kebanyakan dari mereka yang menggunakannya dalam eksepsi dengan jujur ​​menyatakan bahwa kalimat tersebut dikutip dari karya monumental mantan hakim Mahkamah Agung yang banyak menerbitkan buku, M. Yahya Harahap.

Harahap memang menuliskannya dalam buku berjudul Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Sidang, Penyitaan, Barang Bukti dan Putusan Pengadilan (2005). Kalimat tersebut merupakan salah satu kesimpulan Harahap setelah menjelaskan perbedaan perbuatan melawan hukum (PMH) dan wanprestasi. Dalam merumuskan posita atau dalil gugatan dalam surat gugatan, tulisnya, tidak boleh mencampuradukkan wanprestasi dengan PMH. Selain itu, rumusan dalil PMH dalam gugatan juga dianggap salah jika hal itu terjadi dalam beton adalah sebuah prestasi. Tidak tepat bila gugatannya menuduh adanya wanprestasi, padahal peristiwa hukum yang terjadi secara obyektif adalah PMH.

Isu penggabungan gugatan perbuatan melawan hukum dengan PMH sudah lama menjadi perhatian hakim. Pendapat Harahap ini sejalan dengan keputusan Mahkamah Agung yang dikeluarkan puluhan tahun lalu. Lihat misalnya Putusan Mahkamah Agung Nomor 1875 K/Pdt/1984 tanggal 24 April 1986 yang menyatakan: “Penggabungan tuntutan perbuatan melawan hukum dengan perbuatan wanprestasi (wanprestasi) tidak dapat dibenarkan dalam aturan acara dan harus diselesaikan dalam suatu gugatan tersendiri. .” Aturan hukum Mencampuradukkan tuntutan PMH dengan tuntutan wanprestasi tidak dapat dibenarkan juga dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Agung no. 2643 K/Pdt/1994 tanggal 28 Mei 1999.

Secara umum, ada empat poin yang sering dijadikan pengecualian oleh terdakwa capung yang tidak jelas. Pertama, dasar hukumnya tidak jelas (tanah yang tepat)argumen gugatan, atau dasar faktualnya, tidak jelas. Dalam banyak putusannya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa gugatan yang tidak mempunyai dasar yang jelas dan tidak pasti tidak memenuhi syarat formil suatu gugatan. Kedua, objek sengketanya tidak jelas. Misalnya, luas dan batas-batas tanah sengketa dalam surat gugatan tidak jelas. Ketiga, petitum gugatannya tidak jelas. Hal ini bisa terjadi apabila apa yang diminta tidak dirinci atau terdapat pertentangan antara posita dan petitum. Keempat, menggabungkan PMH dan default in posita.

Baca Juga:  Penyalahgunaan Hubungan Kekuasaan dalam Pelanggaran Etika Penyelenggara Pemilu


Sumber: hukumonline

Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© LBH CADHAS 2024.
All rights reserved.
//
Tim dukungan konsultasi siap menjawab pertanyaan Anda.
👋 Hallo, Silahkan beri tahu apa yang dapat kami bantu?
LBH CADHAS Kami ingin menunjukkan kepada Anda pemberitahuan untuk berita dan pembaruan terkini.
Dismiss
Allow Notifications