Proses penguatan institusi kepolisian perlu terus didorong dengan juga mempertimbangkan hukum internasional dan peraturan perundang-undangan nasional lainnya.
Status teritorial gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di luar negeri kini menjadi perhatian seiring dengan adanya kontroversi dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Pasal 6 Ayat 1 huruf c RUU Polri mengatur bahwa fungsi dan peran Polri meliputi “Wilayah perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang mempunyai kekebalan diplomatik”.
RUU Kepolisian Negara ini akan memberikan kewenangan kepada Kepolisian Negara untuk melaksanakan seluruh fungsi Kepolisian Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini—yaitu fungsi penegakan hukum, perlindungan, dan pemeliharaan keamanan—di lingkungan perwakilan Indonesia di luar negeri.
Dari perspektif hukum internasional, ketentuan tersebut jelas bermasalah. Masalah yang paling mendasar adalah anggapan bahwa gedung perwakilan Indonesia di luar negeri merupakan bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia. Asumsi ini mengasumsikan bahwa kewenangan Kepolisian dapat diperluas dan menjangkau seluruh perwakilan Indonesia yang berada di negara lain. Dengan kata lain, RUU ini akan memperluas “yurisdiksi” Kepolisian.
Status Teritorial Perwakilan Indonesia
Penetapan kedaulatan teritorial suatu negara tidak dapat dilakukan secara sepihak, tetapi harus pula dilakukan berdasarkan hukum internasional. Maka, Indonesia tidak boleh menetapkan lingkungan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebagai bagian dari wilayahnya tanpa dilandasi hukum internasional.
Selama ini, tidak ada satu pun ketentuan hukum internasional kontemporer—termasuk Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Diplomatik—yang menyatakan bahwa gedung kedutaan (premis diplomatik) merupakan bagian dari kedaulatan teritorial negara tersebut. Bahkan jika ditelusuri lebih dalam, doktrin, pandangan para ahli hukum internasional, dan praktik negara-negara dunia justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Semuanya menegaskan bahwa status teritorial premis diplomatik tetap merupakan bagian dari wilayah negara penerima.
Memang pada era sebelum abad ke-18, tempat kedudukan diplomatik dianggap sebagai wilayah Negara Pengirim. Hugo Grotius dalam bukunya yang berjudul Tentang Hukum Perang dan Damai (1625) menyatakan bahwa seorang Duta Besar dianggap berada di luar wilayah Negara Penerima. Pandangan ini didasarkan pada logika asumsi hukum (fiksi hukum) bahwa premis diplomatik suatu negara dianggap sebagai perpanjangan wilayah negara.
Namun dalam perkembangannya, pandangan Hugo Grotius Hal ini ditinggalkan pada awal abad ke-19. Perubahan ini terjadi karena kekhawatiran banyak negara atas maraknya penyalahgunaan perlindungan diplomatik oleh penjahat pada saat itu.
Sumber: hukumonline
Source link