Lebih dari tiga puluh tahun setelah kematiannya, nama Marsinah kembali mencuat ke permukaan. Kali ini aktivitas buruh ditetapkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 116/TH/Tahun 2025 tanggal 6 November 2025. Marsinah diangkat menjadi pahlawan nasional di bidang perjuangan sosial dan kemanusiaan. Marsinah merupakan simbol keberanian moral dan perjuangan hak asasi manusia di kalangan masyarakat awam.
Bagi kalangan hukum, penanganan kasus pembunuhan Marsinah merupakan sebuah elegi bagi penegakan hukum. Ia merupakan aktivis buruh yang kehilangan nyawa setelah ikut mogok kerja dan memperjuangkan nasib teman-temannya yang terancam PHK, termasuk bernegosiasi dengan pengusaha. Negosiasi difasilitasi oleh perwira militer. Marsinah diduga disekap selama beberapa hari sebelum jasadnya ditemukan di sebuah gubuk di pinggir sawah di Desa Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur, pada Mei 1993 (Aloysius Soni BL de Rosari. Elegi Penegakan Hukum, 2010).
Kematian Marsinah menyisakan misteri. Kasus tersebut mendapat perhatian besar masyarakat, khususnya media massa. Ada aroma keterlibatan militer dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan aksi buruh saat itu. Sejumlah orang yang dibawa ke pengadilan karena diduga terlibat, dibebaskan oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi. Salah satu orang yang ditetapkan sebagai terdakwa adalah pemilik PT Catur Putra Surya (CPS) Yudi Susanto. Dalam persidangan Yudi didampingi tim kuasa hukum yang dipimpin advokat Trimoelja D. Soerjadi.
Kematian Marsinah menyisakan misteri
Dalam memoar dan wawancara dengan Hukum onlineTrimoelja mengakui, penanganan kasus Marsinah merupakan langkah menuju puncak pembentukan undang-undang di tingkat nasional. Meski membela salah satu terdakwa, namun penanganan kasus ini menjadi menyorot dalam karirnya sebagai pengacara. Pembelaan Yudi menjadi pelajaran baginya untuk terus berjuang membela kebenaran meski harus menghadapi tangan kekuasaan. Trimoelja mengibaratkan penanganan kasus pembunuhan Marsinah seperti 'memetik buah matang dari pohon tinggi tanpa tiang'. Hampir mustahil bagi tim pembela untuk memetik buah yang matang jika mereka tidak mampu memanjat dan tidak memiliki tiang untuk memetiknya. Kekuasaan penasehat hukum saat itu adalah menggoyang-goyangkan batang pohon dengan harapan buah yang matang akan rontok dengan sendirinya. Perjuangannya berhasil. Majelis kasasi membebaskan Yudi Susanto dan Trimoelja dari penerima Penghargaan Yap Thiam Hien. (Baca juga: Pak Tri dan Tamsil Memetik Buah dari Pohon Tinggi dalam Kasus Marsinah)
Sumber: hukumonline
Source link







