Penghakiman sebagai Perjuangan Kemanusiaan adalah judul buku tipis yang ditulis oleh Profesor Bapak Roeslan Saleh. Buku yang terbit 45 tahun lalu ini masih terasa relevan dengan kondisi saat ini, di tengah perjuangan para hakim di seluruh Indonesia untuk memperjuangkan kesejahteraannya. Roeslan Saleh semasa menjabat Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada bermaksud membuka mata dan pikiran para pelaku dunia hukum bahwa mengadili merupakan perjuangan manusia dalam mewujudkan hukum.
Menilai sebagai perjuangan kemanusiaan menempatkan setiap orang dalam proses peradilan (pidana), khususnya terdakwa, sebagai manusia. Penjurian, tulis Roeslan Saleh, merupakan proses yang dilakukan dengan susah payah antara manusia dengan manusia. Penghakiman tanpa hubungan antarmanusia pada hakikatnya mustahil, ia seringkali memperlakukan ketidakadilan. Suatu tindak pidana yang dijatuhkan, lanjutnya, tanpa memperhatikan orang-orang yang terlibat dalam perkara tersebut, tidak lain adalah kehancuran masa depan. Cara-cara keadilan yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan tidak hanya merugikan pihak yang membuatnya, tetapi juga merugikan kesejahteraan umum.
Tugas hakim untuk mengadili masih disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Mengatakan hakim disebutkan sedikitnya 22 kali dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan 19 kali dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. “Pengadilan mengadili menurut undang-undang tanpa membeda-bedakan orang,” demikian rumusan undang-undang.
Dalam karyanya, Roeslan Saleh justru menekankan tugas hakim dalam mengadili, yang pelaksanaannya harus memperlakukan terdakwa sebagai manusia biasa. Ia tidak membahas sisi kemanusiaan hakim. Sisi kemanusiaan hakim sebenarnya muncul ketika sejumlah hakim melakukan gerakan cuti bersama pada 7-11 Oktober 2024. Ribuan hakim, baik langsung maupun diam-diam, mendukung dan menunjukkan solidaritas terhadap gerakan tersebut. Seringkali majelis hakim mengadili perkara yang nilainya fantastis hingga triliunan rupiah, namun gaji hakimnya relatif terbatas. “Yang kami kejar bukanlah kekayaan. “Yang kita perjuangkan adalah kesejahteraan hakim,” kata hakim Pengadilan Negeri Luwuk, Azizah Amalia, dalam diskusi online, Sabtu (10/5/2024).
Sumber: hukumonline
Source link