Suara peluit dan jeritan menggema di depan kantor P2MI, Jakarta. Di bawah terik matahari, puluhan calon buruh migran berdiri berkerumun sambil membentangkan spanduk bertuliskan “Segera Kirim Kami ke Korea!”. Wajah mereka lelah, kecewa, dan bercampur dengan harapan yang mulai menipis.

Sore itu, para calon buruh migran memadamkan bara api di dada mereka di bawah terik matahari Jakarta. Di antara mereka, ada wajah-wajah yang lelah namun penuh tekad.

Salah satunya, remaja putri bernama Siti Nurjanah tak kuasa menahan air matanya. Dia telah menunggu lebih dari delapan bulan untuk berangkat ke Korea Selatan setelah lulus pelatihan.

“Saya sudah menjual sawah saya, meminjam uang untuk biaya pelatihan. Tapi sampai saat ini belum ada kejelasan,” ucapnya lirih dan suaranya hampir tenggelam oleh teriakan rekan-rekannya.

Mereka datang dari berbagai daerah—Cirebon, Indramayu, Blitar, dan Lombok—semuanya membawa cerita yang sama: menunggu panggilan tak kunjung datang. Bahkan ada pula yang menginap di rumah kerabatnya di Jakarta karena takut ketinggalan pengumuman pemberangkatan.

“Kami sudah menunggu lebih dari setahun. Kami hanya ingin keadilan, kami ingin pergi, bukan janji,” teriak pria berkemeja hitam yang memimpin pidato. Di belakangnya, barisan calon pekerja lain mengacungkan papan bertuliskan “Jangan Main-Main Nasib Kita!”
Aksinya berlangsung damai, namun menguras emosi. Beberapa perwakilan berusaha menemui P2MI, sementara di luar pagar rekan-rekannya terus menyanyikan lagu perjuangan. Suasana mencekam—antara harapan dan kekecewaan menggantung di udara.
Sumber: hukumonline
Source link







