Meminjam uang kepada seseorang saat sedang butuh uang adalah hal yang lumrah. Hal inilah yang dialami Bing. Saat usahanya butuh modal, Bing mencoba meminjam uang kepada Asmudin. Ia tidak meminjam banyak, 'hanya' delapan juta rupiah. Jangka waktunya hanya satu bulan. Bing menjanjikan keuntungan sepuluh persen dari pinjaman tersebut, artinya Asmudin tinggal menyerahkan 7,2 juta rupiah. Asmudin tertarik dan meminjamkan uang tersebut secara bertahap.
Sebagai jaminan pelunasan utang, Bing menarik tiga cek yang sudah diundur tanggalnya, lalu menyerahkannya kepada Asmudin. Artinya, Bing berutang jaminan kepada Asmudin berupa tiga cek yang bisa dicairkan sebulan kemudian. Hubungan hukum berjalan lancar hingga cek-cek tersebut jatuh tempo. Asmudin pun pergi ke bank untuk mencairkan cek yang diberikan Bing. Betapa kecewanya Asmudin saat menerima jawaban dari bank: pencairan ditolak karena dana di rekening koran Bing tidak mencukupi.
Asmudin langsung menemui Bing untuk meminta penjelasan. Debitur hanya bisa memberikan uang sebesar satu juta rupiah. Sisanya akan dibayarkan jika rumah tersebut terjual. Merasa tidak puas karena penagihan utangnya tidak berhasil, Asmudin akhirnya menempuh jalur hukum. Ia tidak menggugat ke pengadilan seperti yang lazim dilakukan untuk utang-utang, tetapi memilih melaporkan Bing ke polisi. Bing pun akhirnya terseret ke pengadilan.
Kasus hubungan utang Bing-Asmudin merupakan salah satu contoh putusan mengenai cek kosong yang dimasukkan ke dalam Kompilasi Abstrak Putusan Mahkamah Agung tentang Hukum Pidana (diterbitkan oleh Ikatan Hakim Indonesia, 2000). Meski kejadiannya terjadi pada tahun 1988, kasus ini masih relevan untuk menjawab pertanyaan: apakah utang yang dibayar dengan cek kosong hanya merupakan perkara perdata, atau dapat juga ditarik ke perkara pidana.
Sumber: hukumonline
Source link