Restrukturisasi utang menjadi salah satu instrumen penting bagi perusahaan yang tengah menghadapi kesulitan arus kas atau tekanan finansial. Proses ini memungkinkan debitur menegosiasikan kembali kewajiban mereka agar likuiditas dapat macet dan operasional perusahaan tetap berjalan.
Restrukturisasi juga bertujuan mencegah pertikaian antara debitur dan kreditur, menghindari risiko kebangkrutan, serta memberi ruang bagi kedua pihak untuk mencapai penyelesaian yang saling menguntungkan.
Associate SSEK Law Firm, Ahmad Charlie Rivai Malessy, memaparkan rekonstruksi utang pada prinsipnya dilakukan untuk menghindari proses hukum seperti Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atau Kepailitan.
Baca Juga:
“Restrukturisasi memberikan kelonggaran bagi debitur untuk memenuhi kewajibannya sekaligus memperbaiki kinerja keuangan, dan di sisi lain memberikan kesempatan bagi kreditur untuk tetap menerima pembayaran,” ujarnya dalam Pelatihan Hukumonline bertajuk Manajemen Krisis dan Transformasi Usaha Melalui Tahapan Restrukturisasi Utang dan Perusahaan di Jakarta, Selasa (18/11).
Mengenai strategi komprehensif rekonstruksi utang, Charlie menyebutkan tahapan pengampunan, analisis, hingga implementasi. Ia menekankan implementasinya tidak dapat berjalan secara tunggal, melainkan membutuhkan kolaborasi lintas divisi, seperti tim pajak, keuangan, hingga legal.
Adapun jenis penyelesaian dalam restrukturisasi sangat beragam, mulai dari perjanjian baru, penambahan jaminan, jaminan eksekusi, hingga pelepasan aset. Namun, masalah jaminan sering kali menjadi isu krusial, terutama terkait mekanisme eksekusi. Charlie mengingatkan, tidak semua jaminan dapat langsung dieksekusi begitu saja.
“Masih banyak yang beranggapan bahwa jaminan yang sudah dipegang itu aman dan bisa langsung diambil. Padahal tidak demikian. Ada mekanisme hukum yang harus dipatuhi,” jelasnya.
Sumber: hukumonline
Source link







