Syarat-syarat kepailitan diatur secara jelas dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Lebih lanjut, syarat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur dalam Pasal 222 UU Kepailitan.
Secara normatif, Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan menegaskan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan oleh pengadilan niaga apabila terdapat fakta atau keadaan yang cukup membuktikan terpenuhinya kedua syarat kepailitan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan. Terkait fakta atau keadaan yang dibuktikan secara sederhana, Guru Besar Hukum Kepailitan Universitas Airlangga Hadi Subhan menyatakan terdapat batasan konsep yang berbeda dalam pembuktian sederhana. Hal tersebut ia ungkapkan dalam bukunya yang berjudul Hukum Kepailitan: Asas, Norma dan Praktek di Pengadilan.
Penjelasan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan hanya menyebutkan adanya dua kreditur atau lebih dan adanya uang yang telah jatuh tempo dan belum dibayar. Perbedaan jumlah utang yang dituntut oleh pemohon pailit dan tergugat pailit tidak menghalangi keputusan untuk menyatakan pailit. Tapi cari Hukum online menemukan bahwa meskipun syarat-syarat permohonan pailit terpenuhi, tidak serta merta permohonan PKPU atau permohonan pailit dikabulkan oleh majelis hakim pengadilan niaga. Selain pertimbangan utang yang harus dibuktikan secara sederhana, ada pertimbangan lain majelis hakim yang menyebabkan permohonan PKPU dan pailit ditolak. Berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah disusun, berikut rangkuman alasan penolakan permohonan pailit meskipun Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan terpenuhi.
…walaupun syarat-syarat permohonan pailit terpenuhi, tidak serta merta permohonan PKPU atau permohonan pailit dikabulkan oleh majelis hakim pengadilan niaga
Sumber: hukumonline
Source link







