Sejak diberlakukannya KUHP (KUHAP) pada tahun 1981, mekanisme praperadilan telah menjadi instrumen utama untuk menguji validitas tindakan upaya paksa pejabat penegak hukum. Namun, seiring waktu, efektivitas efektivitas praperadilan sering dipertanyakan. Ini karena terbatas, formalistik, dan hanya dapat diakses setelah pelanggaran.
Dalam KUHP, praperadilan diatur dalam Pasal 77 untuk Pasal 83. Menurut Pasal 77 KUHP Prosedur Pidana, pengadilan distrik memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutuskan, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam undang -undang ini, mengenai validitas penangkapan, penahanan, penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan, serta kompensasi dan atau penahanan yang dihentikan seseorang adalah pengakhiran penuntutan, serta kompensasi dan atau penahanan yang dihentikan oleh orang lain atau penghentian penuntutan, serta kompensasi, atau kompensasi.
Kemudian Pasal 78 hingga Pasal 93 KUHP Prosedur Pidana mengatur mekanisme, prosedur, dan ketentuan lebih lanjut mengenai implementasi praperadilan, termasuk siapa yang dapat mengajukan prosedur inspeksi, serta konten dan implementasi keputusan praperadilan. Perkembangan penting terjadi melalui keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memperluas objek praperadilan termasuk penentuan tersangka, pencarian, dan penyitaan. Keputusan ini adalah fondasi yuridis untuk perluasan otoritas praperadilan di pengadilan distrik juga diatur dalam pasal 2 paragraf (1) dari peraturan Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2016 mengenai larangan peninjauan keputusan praperadilan.
Perkembangan penting terjadi melalui keputusan Pengadilan Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memperluas objek praperadilan termasuk penentuan tersangka, pencarian, dan penyitaan
(Tagstotranslate) praperadilan
Sumber: hukumonline
Source link