Sunaryati Hartono dalam Seminar Hukum Nasional VI di Jakarta pada tahun 1994 secara resmi memperkenalkan upaya untuk mempercepat, memperluas, dan memperkuat yurisprudensi permanen di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dalam seminar itu terungkap bahwa perlu untuk mengakui keputusan hakim yang lebih tinggi dalam kasus kedua fakta dan materi yang kurang lebih sama.
Paulus Effendie Lotulung di Peran yurisprudensi sebagai sumber hukum (1997) mengungkapkan, jika upaya ini diterima maka tidak perlu mempertanyakan berapa kali keputusan hakim diikuti oleh hakim lain sampai keputusan dikategorikan sebagai yurisprudensi. Masalahnya adalah, haruskah keputusan hakim diikuti oleh hakim lain?
Sebelumnya, mari kita pahami definisi yurisprudensi secara pertama. Academicians dari Indonesian Law College (STHI) Jentera, Aria Suyudi menjelaskan bahwa yurisprudensi adalah: (1) keputusan badan peradilan dengan kekuatan hukum permanen; (2) berisi aturan hukum penting; dan (3) diyakini dan diikuti oleh hakim lain dalam elemen kasus yang sama untuk memastikan kepastian hukum.
Mengenai pertanyaan di atas, Aria Suyudi menjelaskan bahwa salah satu elemen penting yurisprudensi yang membedakan dari keputusan lain adalah bahwa keputusan tersebut telah diikuti berulang kali oleh hakim lain. Hakim lain yang dirujuk dalam proses ini dapat ditafsirkan kedua hakim di tingkat pertama, tingkat banding, dan hakim agung di Mahkamah Agung.
(Tagstotranslate) Kritik yurisprudensi
Sumber: hukumonline
Source link