Nama Sir John Fortescue (1394-1479) mungkin belum banyak dikenal di dunia peradilan Indonesia. Namun, di Inggris, namanya diabadikan dalam sejarah kekuasaan kehakiman. Fortescue adalah penulis “Tentang Pujian terhadap Hukum Inggris” (Penghargaan terhadap Hukum Inggris) yang pernah menduduki posisi terhormat sebagai Ketua Mahkamah Agung. Fortescue mengatakan bahwa lebih baik membiarkan dua puluh orang bersalah lolos dari hukuman mati daripada membiarkan satu orang tidak bersalah dihukum dan berakhir dengan penderitaan yang amat besar.
Kata-kata Sir Fortescue, “Sesungguhnya, lebih baik dua puluh orang bersalah lolos dari hukuman mati daripada satu orang tidak bersalah dihukum dan menderita hukuman mati.”“, lebih dikenal oleh masyarakat hukum di Indonesia melalui kalimat latin, ragu untuk terdakwaArtinya, kurang lebih sama, lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Kalimat ini mendorong hakim untuk menerapkan asas kehati-hatian (bijaksana) dalam memutuskan perkara. Jika ragu, lebih baik hakim memutuskan untuk mendukung terdakwa.
Terpisah oleh jarak dan waktu, nasihat Sir John Fortescue bergema di Indonesia. Tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya: Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, menjadi sorotan publik karena membebaskan seorang terdakwa. Gregorius Ronald Tannur, terdakwa dimaksud, dituntut jaksa dengan pidana penjara 12 tahun ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp263 juta atas tuduhan pembunuhan terhadap korban Dini Sera Afrianti. Namun, ketiga anggota majelis hakim berpendapat dakwaan jaksa tidak terbukti, sehingga terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan.
Pemberian putusan bebas merupakan salah satu pilihan bagi hakim di Indonesia. Secara normatif, undang-undang menyediakan pilihan tersebut. Selain putusan bebas, hakim dapat menjatuhkan putusan bebas atau membebaskan terdakwa dari segala tuntutan. Jenis putusan akhir yang dipilih hakim didasarkan pada alat bukti.
Sumber: hukumonline
Source link